Nikmatnya Kehidupan

Semakin jauh melangkah, akan semakin banyak pengalaman yang kamu dapat

Beranilah Mencicipi Aneka Rasa Kehidupan

Kehidupan tidak berhenti pada rutinitas dan kepasrahan takdir, tapi lebih dari itu. Menjaga keseimbangan jiwa dan raga.

Merindukan Kesejukan Dunia

Untuk menemukan pagi harus menempuh malam dan menunggu matahari terbit. Dan untuk menggapai pagi dan kesejukannya harus berkorban pada nikmat tidur. Bangun dan menatap Fajar. Maka Jangan sia-siakan waktumu karena nafsu dan keserakahanmu pada dunia.

Ranumnya Kehidupan Berawal dari Ketenangan Jiwa

Tanamkanlah pada dirimu rasa kepercayaan diri dan semangat tiada putus, meski bertubi-tubi di landa kepahitan dan kegetiran.

Kelezatan Dan Selera Memaknai Hidup

Setiap manusia membawa pengalamannya masing-masing untuk dihidangkan pada pola pikir dan tanggungjawab. Oleh karena itu, setiap darinya selalu membawa kebenarannya masing-masing. Jangan pernah berkelahi pada pengalam satu, tapi bertanggungjawablah padanya untuk mengabdi pada Kebenaran Sejati. Ajaran Tuhan.

Perubahan

Manusia memiliki tiga perangkat untuk bisa memiliki keindahan dalam berpikir, yaitu teladan, logis, dan kreatif. karena berpikir adalah tanda yang penting untuk manusia, untuk membedakannya dari macam-macam makhluk yang ada di bumi, maka merubah segelintir kemalasan menjadi senjata adalah penting, karena sesuatu yang penting di akan menjadi menjadi sangat penting karena didukung perangkat yang penting pula. pentingkan pula otakmu untuk berpikir. perubahan akan terjadi.

Kamis, 22 September 2011

Kala Spiritualisme Dilembagakan Mukti Ali (Penulis adalah Santri eMbeling al-Azhar Kairo)  


Karakteristik spiritualisme yang paling orisinalnya bersifat liar, tak teratur rapih, berserakan, dan warna-warni. Tapi dengan karakternya itu ia menjadi mempesona dan menawan. Laksana taman bunga yang beragam warna dan beragam aroma. Justru kala taman bunga “diseragamkan” menjadi satu warna, satu aroma, dan satu bentuk, maka keanggunannya menjadi pudar, atau bahkan menjadi tidak menarik bagi mereka yang sedang bertamasya
      Penyeragaman spiritual menjadi satu warna galibnya bersumber dari sebuah doktrin produk manusia (mursyid, sebagai misal), yang diejawantahkan dalam bentuk pelembagaan spiritualisme: doktrin seperti belenggu yang membatasi sang pejalan spiritual. Akhirnya memunculkan satu asumsi (tuduhan?) bahwa seseorang yang berserah diri secara tulus tak bisa dianggap sufi dengan tanpa mengikatkan dirinya dengan satu doktrin sejenis itu. Najis bagi orang biasa yang tidak masuk lembaga doktrin itu untuk dianggap “sufi”. Tanpa sadar, bahwa asumsi sejenis ini mengandaikan doktrin sang guru (atau mungkin gurunya itu sendiri?) diimani bukan sekedar sebagai “perantara”, tapi juga sekaligus sebagai “tujuan”. Namun sejatinya sang pejalan mestinya bisa lari sekencang-kencangny a, melintasi batasan-batasan yang dirasa mengikat, mengejar dan mendekati satu titik tujuan yang paling paripurna yaitu Kekasih Abadinya. Satu prinsip dasar yang mestinya disematkan kuat-kuat dalam nurani adalah apa pun bentuknya doktrin itu dan sedigjaya apa pun kepribadian sang mursyid hanyalah sebagain kecil dari sekian banyak “perantara” menuju apa yang layak dianggap sebagai tujuan.
      “Pelantara” di sini tidak dalam pengertian Kristiani pada era kegelapan (dark age) di Barat, melainkan dalam pengetiannya yang positif: sebagai penunjuk jalan spiritual dalam tahap permulaan, lalu untuk seterusnya melepaskankannya secara total. Laksana busur panah yang dilepaskan secara mandiri menuju obyek sasaran. “Man la syaikha lahu, fasyaikhuhu syaithan”, demikian jargon konvensional muncul ke permukaan. Menurut saya jargon ini mendapatkan relevansinya bagi para pendahulu (mubtadiien) dalam dunia spiritual, tak berlaku selama-lamanya dan tak dialamatkan untuk semua orang. Lantaran sejatinya spiritualisme adalah sesuatu yang sangat privatif, dan tak ada seorang pun yang berhak menginterfensi terlalu jauh—apalagi “mendiktenya”.
      Bahkan, mestinya sang pejalan spiritual sejati akan menganggap doktrin dan mursyid itu sendiri (atau fanatisme sekte) adalah “penghalang” antara ia dan Tuhan. Al-Hallaj lebih jauh menyimpulkan bukan hanya guru, dll, tapi jasad dirinya dianggap sebagai penghalang pertemuan ia dan Sang Kekasih Abadinya. Kala fonis mati dijatuhkan, ia menyambutnya dengan tersenyum. Hanya kematian yang bisa melenyapkan penghalang (baca. jasad) antara ia dan Kekasihnya. Dan Rabiah al-Adawiyyah, seorang sufi perempuan, hatinya telah dipenuhi rasa kasmaran terhadap Tuhannya, sehingga tidak bisa menerima masukan rasa cinta pihak lain. Seraya ia berujar saat bersimpu di samping makam Nabi Muhammad: “Wahai Muhammad, maafkan daku yang telah lumer oleh kobaran api cinta Tuhan dan melalaikanmu. Hatiku telah penuh oleh cinta-Nya. Tidak ada tempat lagi di ruang hatiku untukmu”. Rabiah menyadari betul bahwa Nabi Muhammad bukan tujuan ahirnya—apalagi hanya seorang guru biasa seperti Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals—melainkan tujuan perjalanannya adalah Tuhan.      
      Spiritualisme pun bak gelombang lautan: pasang dan surut dalam keasyik-masukan rasa kasmaran dengan kekasih abadi (Tuhan). Dalam takaran yang tidak menentu ini, seberapa tinggi gelombang pasang dan seberapa rendah gelombang itu surut tak seorang pun yang bisa menakarnya. Hanya Tuhan yang bisa menakarnya dengan jelas. Lantaran Tuhan adalah tujuan itu sendiri. Teka-teki maqam dan ahwal baru bisa dipecahkan oleh sorot tajam mata Tuhan yang penuh seluruh dan maha angeliputi. Di mata manusia, derajat spiritual seseorang akan selamanya misteri. Alih-alih, siapa nyana kalau-kalau sang murid justru lebih tinggi tingkat spiritalitasnya di mata Tuhan daripada guru-gurunya.
      Kita tahu dalam sejarah spiritualisme Islam klasik, sejumlah ulama pejalan spiritualis telah melampaui guru-gurunya. Sebagai misal, Rabiah beberapa langkah lebih maju daripada gurunya, Hasan Bashri; Al-Hallaj telah melampaui gurunya, Juned al-Baghdadi; Ibnu Arabi justru menganggap yang menjadi inspirator kidung cinta Illahi yang terukir indah diujarkan dalam bait-bait syair Tarjumanul al-Asywaq (ayat-ayat cinta) adalah Nidzlam, seorang putri gurunya, yang dianggapnya sosok yang memiliki keelokan luar-dalam, dan inspirator itu bukanlah gurunya, yaitu Zahir bin Rustum bin Aby al-Raja al-Asbihani yang telah membacakan buku hadits karya al-Tirmidzi pada saat di Mekah, 598 H—spiritualisme itu memang liar, bisa dipungut dari mana saja tidak harus dari guru. Dan akhirnya Ibnu Arabi telah menjadi salah satu “raksasa spiritualisme Islam” yang bisa melampaui para pendahulunya.
      Mereka, para sufi dan gurunya yang saya sebutkan itu, menyadari bahwa relasi guru dan murid adalah sejenis relasi sparring-partner, yang sama-sama memiliki kesempatan, sama-sama mempunyai kepintaran-spiritua l dan adanya “persaingan sehat-alami” dalam mendaki dari satu tangga spiritual ke tangga yang lain.
      Sayang, sebagian oknum menganggap bahwa “murid di tangan gurunya laksana orang mati di tangan orang yang memandikannya” . Murid diandaikan selamanya tak berdaya, tak berkemampuan, dan selamanya bodoh-spiritual daripada gurunya yang selamanya pintar-spiritual. Barangkali, sudut pandang seperti itu berawal dari sebuah asumsi bahwa sang guru diposisikan sebagai kitab al-nathiq (sejenis Buku Pintar atau Kamus Berjalan) yang berhak menyibak kandungan makna dari kitab al-ashamit, yaitu al-Quran dan al-Hadits, dengan melalui wangsit langsung dari Langit dan mentransformasikan kepada para muridnya. Dan pihak lain tak berhak sedikit pun menjadi Buku Pintar untuk dirinya sendiri atau untuk ditransformasikan ke orang lain. Syahdan, pandangan ini serupa dengan pandang sekte Syi’ah. Perbedaannya adalah, jika mereka (para murid Tarikat) mengasumsikan kitab al-natiq adalah sang gurunya, sementara kalangan sekte Syi’ah berasumsi bahwa kitab al-natiq itu adalah Ali dan para Imam. Namun, kedua pandangan ini bermuara pada satu titik persamaan yaitu ujaran sang guru (kalam syekh) bagi para murid dan ujaran Ali dan para Imam bagi sekte Syi’ah diimani sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam). Ada monopoli tafsir atas teks primer agama yang sangat krusial. Dan ada kultus individu yang cukup akut.    
      Atau konsep kitab al-natiq itu bisa diartikan bahwa sang guru tak perlu menuliskan doktrin dalam bentuk tulisan, cukup dengan mulut-mulut para muridnya yang akan menyampaikan kepada pihak lain. Pandangan ini tidak produktif bahkan kontra-produktif. Kita tahu bahwa para master sufi klasik telah menuliskan pandangan spritualismenya dalam bentuk tulisan. Mereka kebanyakan menulis dengan bahasa ambigu, seperti syair, yang susah tertangkap basah, dan bahasa simbolik, dimana saat generasi setelahnya menyimak, memahami dan mentafsirinya maka mereka akan bisa  memproduksi makna sebanyak-banyaknya. Kecakapan bahasa spiritual adalah seberapa jauh bahasa itu mengandung multi-makna.  
      Saya teringat statemen kedua futurolog Barat, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang berupa sejumput jargon yaitu Spiritualisme, Yes!; Organized Religion, No! Spiritualisme adalah sebuah kebutuhan bagi manusia sekarang (khususnya Barat). Tapi akan “bermasalah” jika manusia menjatuhkan pilihannya terhadap spiritualisme yang terlembagakan atau terorganisir. Ide dasarnya cukup cerdas dan relativ tepat. Tapi sayang, Neisbitt dan Aburdene terjerembab pada kubangan deisme. Dan akhirnya saya katakan bahwa masalah spiritalisme di kalangan “manusia gila yang paling waras”, selalu saja masih misteri bukan?

Menuju Pembacaan yang membebaskan; Sebentuk Formula Komplementer* [Oleh Faiq Ihsan Anshori]



“Ketika al-Qur’an, oleh ulama kuno, diposisikan sebagai satelit pembentuk gramatika tradsional; demikian pula, oleh ulama kini, al-Qur’an kembali dinobatkan sebagai lokomotif rekontruksi menuju pembacaan gramatika  post-tradisional...”
****
“...Maka, tiada nalar tanpa bahasa; tiada bahasa tanpa nalar”




Prolog
Bahasa Pengantar
Sejatinya, bahasa merupakan sistem penanda (simbol) yang tidak hanya merupakan bunyi-bunyi suara secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Bahasa merupakan simbol makna yang memiliki multi fungsi sebagai alat komunikasi, penuangan emosi serta sebagai ejawantah nalar manusia itu sendiri. inilah differency vital manusia sebagai makhluk yang ditasbihkan termulya sejagat raya, karena memiliki kemampuan dan aktivitas daya pikir hasil proyeksi perangkat nalar logika guna memangul titah Sang Maha Kuasa dalam menjalankan laku kepemimpinan di muka bumi; tempat bersemayamnya dunia realitas fisik-metafisik.

Manusia, dalam rangka mencari dan menemukan entitas fakta dan realitas, akan mampu terwakili oleh dunia simbolik bahasa sebagai komunikasi sesama. Bertrand Russel sendiri menyatakan kesetujuan bahwa bahasa dianggap memiliki kesesuaian dengan ‘struktur’ realitas dan fakta atau lebih tepatnya sebagai lokus realitas. Oleh karena itu, demi upaya pembongkaran dan pemahaman hakikat struktur tersebut tentu meniscayakan sebuah ‘sistem simbol bahasa’ sebagai prasyarat logis, hingga nantinya satuan-satuan sistem tersebut benar-benar akan mampu memahami entitas objek luar bahasa. Namun demikian, adanya proposisi-propisisi kebahasaan dalam hubungannya sebagai pengantar dunia realitas fisik tidak sepenuhnya menjamin pemahaman secara utuh dan sempurna. Karakter bahasa, diakui atau tidak, memiliki sejumlah kelemahan dan keterbatasan ketika menyuarakan ide pikiran. Kelemahan tersebut dapat diraba ketika menjumpai; kesamaran (vagueness), ke-tidak eksplisit-an (inexplicitness), ambiguitas (ambiguity), ketergantungan konteks (contex-dependence), kerawanan penyesatan (mis-leadingness). Dari akumulasi ini, menghasilkan titik simpul sebagai bukti nalar manusia menjadi terbatas akibat reduksionis bahasa sendiri. Padahal manusia hanya mengandalkan adi-daya kekuatan terhadap satuan bahasa sebagai penyambung nalar. Bagaimanapun, keterbatasan bahasa tidak melulu dilihat dari aspek wilayah ekstern bahasa sahaja melainkan harus dilihat dari wilayah intern bahasa (language) itu sendiri. Apa yang diungkapan kadang tidak lebih hanya merupkan bagian serpihan-serpihan logos, yang kemudian wajar jika ada aporisma ‘tak mampu diungkapkan dengan kata-kata’. Ini berarti bahasa telah menemukan kelemahan diri dalam jantung ontologi bahasa manakala tidak mampu mengungkapkan ‘sebuah objek wicara’ secara proporsional sesuai takaran kehendak bertatah-kata penutur.

Yang tidak mampu terbicarakan itulah sebagai bangunan struktural ko-eksistensi tak nampak. Bahasa jadinya menscayakan sebuah reduksionis bahkan distorsi esensial terhadap deskripsi totalitas ke-ada-an. Dalam tataran ini, apapun yang berkenaan dengan bahasa dan akan disampaikan oleh media lisan –sekalipun berasal dari instuisi– maka, dengan sendirinya akan melebur menjadi terma ‘formalisasi bahasa’ atau gugus logosentrisme yang terejawantahan dalam sebentuk simbol tanda. Hal ini bukan berarti menafikan sejumlah perangkat-perangkat bahasa dalam terma Islam, sebab Islam memiliki keunikan sendiri di mana  disamping menyoal bahasa logos manusia, juga kerap bersentuhan dengan bahasa Tuhan (al-Qur’an) sebagai kawasan lalu lintas fisik-metafisik. Islam, dengan demikian, memiliki kompleksitas  language yang direpresentasikan dalam wujud al-Qur’an-Hadits. Ia, tak ayal, menjadi aset mewah tiada tara dan sebagai tali jejaring seluruh pengetahuan secara totalitas dalam khazanah Islam.

Bahasa  gramatika
Dalam lanskap panjang sejarah peradaban Islam, disiplin ilmu bahasa dimanifestasikan dalam berbagai corak, mulai filsafat bahasa (al-lugah), gramatika (nahwu-sharaf), sastra, teknik tulis (kitâbah), hingga teknik bacaan (qirâ’ah). Dari keseluruhan disiplin ini mengestimasikan terhadap satu kesatuan titik-tolak yakni terma Bahasa (dengan huruf kapital) sebagai poros yang akhirnya memunculkan berbagai kategori dan warna disiplin ilmu independen. Maka tak heran jika sejatinya esensi bahasa disebut juga sebagai bagian pemahaman dari filsafat (baca: filsafat Bahasa). Hal ini terbukti ketika al-Farabi menyatakan adanya persenyawaan antar bahasa dan filsafat itu sendiri. Bahkan lebih jauh ia menyatakan bahwa  segenap disiplin ilmu, jika ditelisik secara integral, ternyata berujung pada filsafat sebagai sebuah keniscayaan pemahaman pencari kebenaran. Mungkin hal ini wajar sebab al-Farabi termasuk seorang filosof besar Islam yang banyak terinspirasi hellenestik filsafat Yunani, terutama ajaran Plato. Menurut al-Farabi Ilmu bahasa terbagi dua kategori: pertama, ilmu yang berfungsi menjaga makna bahasa sekaligus penunjuk makna (semiotika). Kedua, sebagai  sebuah gramatika bahasa (grammar). Dari sini ia hendak memberikan sebuah premis mendasar bahwa definisi bahasa sejatinya bisa diterapkan pada segenap elemen bahasa-bahasa manusia di dunia, jadi tidak terkungkung pada bahasa Arab an sich. Ia pun hendak mendedahkan bahwa lokus bahasa bukan bagian dari wilayah intern agama. Sekalipun tidak menafikan bahwa dalam Islam peran bahasa dimainkan hampir keseluruhan ranah teks, namun perlu ada dikotomisasi antara wilayah agama yang terbatas dalam ilmu syariah -sebagai ‘ilmu tujuan’ (ilm maqâshid). Ilmu ini syarat akan kandungan nilai-nilai intrinsik berorientasikan teosentris, karena bersifat kekal-abadi;  dan ilmu bahasa sebagai ‘ilmu media perantara’ (ilm wasâil) yang syarat kandungan nilai ekstrinsik berorientasikan antroposentris, karenanya bersifat temporer-nisbi.

Signifikansinya akan terlihat lebih kontras ketika syariah menempatkan teks sebagai subjek –karenanya tak pelak  Islam disebut sebagai peradaban teks–, sementara ilmu bahasa menempatkan kesebalikannya; teks sebagai objek dan akal sebagai subjek. Dengan demikian, memberikan sebuah hipotesa bahwa ilmu bahasa adalah ilmu yang mengupas seluk-beluk linguistik hasil produksi penalaran sepanjang sejarah manusia. Jadi tegas, sekali lagi, bahasa bukan merupakan bagian ilmu syariah.

Ringkasnya, jika menelisik hal tersebut terdapat epos sosio-kebudayaan dalam jantung Arab sendiri yang sama-sama berjalan seirama namun memiliki karakteristik berbeda; antara kehidupan Islami dan arabis; nalar Islami dan arabis; yang kemudian keduanya melebur padu dalam satu peradaban Arab-Islam. Karenanya, tanpa membedakan identitas lagi mana yang hidup di Arab tapi bukan Islam atau hidup di luar Arab namun Islam.

Dari sini sebetulnya sudah ada celah distingsif, bahwa pada dasarnya memang ada bagian wilayah syariah an sich, yang kemudian disebut-sebut sebagai entitas Islam. Ada pula peradaban sekuler Arab an sich yang bermain pada tataran bahasa dan budaya. Maka, dengan sendirinya, permasalahan apapun yang ada kaitannya dengan kebahasaan bukan lagi menjadi wilayah agama, sekalipun objek kajian bahasa itu adalah al-Qu’an dan hadits, yang notabenenya sebagai pusaka sakral agama. Dan mau tak mau, keduanya ‘tunduk’ dalam kungkungan bahasa sebab ajaran yang terkandung di dalam kedua sumber tersebut menggunakan media bahasa (Arab) hingga upaya memahaminya pun harus dengan aturan gramatika atau ilmu kebahasaan; sebuah teori yang sama sekali sudah lepas landas dari teologi atau syariah.

Nah disinilah urgensi  teori penafsiran, sebagai ilmu bahasa, akan berjalan demi menafsirkan (exegesis) ayat-ayat kehendak tuhan. Artinya jika sudah diposisikan sebagai ilmu bahasa, maka pendekatan model apapun berhak mengintervensi al-Qur’an. Pada akhirnya, filsafat bahasa mampu memerankan diri dengan bebas dalam menggali penafsiran al-Qur’an sebab telah masuk metodologi hermeneutik sebagai pisau analisis penafsiran bahasa.

Mengkaji lingustik Islam tentu tidak bisa lepas tanpa mengkaji al-Qur’an sebab Islam terlahir dan dikenal sebagai  peradaban teks  di mana al-Qur’an, kemudian Hadits, menjadi kunci sekaligus gerbang segala kandungan pengetahuan Islam. Mungkin, perlu adanya pembebasan sakralitas pembacaan yang menyelimuti al-Qur’an sebab kaum puritan umpamanya, menganggap (hanya) karena al-Qur’an, sebagai kitab suci, kebetulan menggunakan media Arab lantas serta merta menjadi bahasa Arab, dengan segala kompleksitas bahasan linguistik di dalamnya, menjadi sakral untuk dijamah, diutak-atik, dan dianggap sebagai sebuah produk final. Asumsi tersebut mesti dihilangkan dan memerlukan penyegaran pemahaman kembali tentang entitas al-Quran ditinjau dari persepsi language agar pembacaan lingustik Arab tetap menemukan titik progresifitas. Juga menuju pembacaan yang membebaskan terutama ketika diaplikasikan dalam menginterpretasikan al-Qur’an dengan pembacaan baru tersebut sehingga al-Qur’an pun tetap menjadi harta karun peradaban ilmu Islam yang tak kunjung habis untuk dieksplorasi.

Menurut Amin al-Khuli dan Thaha Husein, sejatinya al-Qur’an, pertama, harus diletakkan sebagi kitab sastra Arab ter-agung; dan, kedua, baru memposisikannya sebagai kitab yang berisi kandungan ajaran syariah. Nah, Jika sudah melampaui fase pemahaman tersebut, niscaya kajian linguistik Arab, seperti filsafat bahasa, gramatika, sastra, dan prosa, tetap terbuka lebar untuk dikritisi dan diperbaharui menjadikan-nya lebih elegan dan senafas dengan peradaban yang berkembang,  tanpa merusak kalam al-Qur’an sendiri. Al-Qur’an pun, dengan demikian, tetap diperlakukan terhormat; tetap menjadi mainstream arus kiblat yang dari/untuk al-Qur’an kajian lingustikal terbentuk. Tak mengherankan jika benih pemikiran ini menitis dalam sosok Nasr Hamid Abu Jaid. Ia terinspirasi untuk menjejakinya dan tergila-gila memproyeksikan pembaharuan lingustik Arab, baik gugus gramatikal maupun gugus filsafat teks –sebagaimana termaktub dalam karya kanoniknya: Isykaliyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wil dan Mafhûm al-Nash. Ia benar-benar menyadari bahwa teks dan bahasa bukan lagi wilayah Tuhan melainkan wilayah manusia sahaja. Singkatnya, watak bahasa bisa melepaskan diri dari nalar agama tapi tidak sebaliknya. Agama, bagaimanapun, butuh kostum di mana agama itu diturunkan agar bisa didekati dan dipahami kemudian. Dan al-Qur’an sebagai pesan Tuhan untuk manusia menggunakan kode dan saluran komunikasi manusia yakni bahasa (Arab). Bahasa, karena berkarakter demikian,  tak ayal mampu didekati oleh filsafat bahasa manapun atau apapun yang datang dari luar Islam, sepanjang tidak merusak keperawanan al-Qur’an. Karena itu agar tidak terjadi konflik mental dalam nalar Muslim seyogyanya upaya membongkar studi sejarah bahasa (al-Qur’an) melalui optic antropologi dan sosio-kultural Arab adalah sebuah keniscayaan.

Jika dirunut melalui frame work historis, Islam sebagai petunjuk tunggal bagi semesta alam memilih bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an dan bukan bahasa lainnya. Ini, berpasal bahwa bahasa Arab, ketika diturunkan wahyu, memiliki keuntungan geografis dan metodologis; menghegemoni hampir semua kawasan padang pasir. Disamping dianggap bahasa yang paling refresenatif; memiliki kelebihan dibanding bahasa Ibrani, Suryani, Romawi, dan Persia.  Syafi’ie pun menyatakan;

“Bahasa Arab (diakui) sebagai satu-satunya bahasa dunia yang paling komprehensif; ia memiliki kekayaan metodologi dan kosa kata yang melimpah ruah...”

Melalui telisik Syafi’i ini, nampak jelas bahwa al-Qur’an mengunakan media Arab sebagai baju kebesaran bukan tanpa alasan melainkan lebih bersifat ilmiah dan logika bahasa (kala itu). Hingga wajarlah jika Umar R.A. melarang memahami nash-nash qur’anik tanpa terlebih dahulu mempelajari seluk-beluk filsafat bahasa (dirasah al-lugah). Dalam deskripsi ini, adanya kebutuhan mempelajari filsafat bahasa adalah sebuah keniscayaan. Al-Qur’an, dengan demikian, sejatinya bukan merupakan acuan metodologi filsafat bahasa dan gramatika melainkan (hanya) sebuah aplikasi dan sampel hasil terapan teori bahasa, baik sisi fisafat-nya, sastra-nya, maupun gramatika-nya, karena hampir semua disiplin ini diam-diam telah terbentuk sebelum al-Qur’an, bahkan jauh sebelum Islam datang. Ini berarti bahwa  bahasa al-Qur’an, sejatinya merupakan produk budaya, yang bahasanya ‘kebetulan’ digunakan Tuhan, sebab, bagaimanapun, bahasa adalah faktor determinan dalam menentukan struktur wahyu. Terbukti banyak berbagai varian bacaan (lahjah) dalam satu ayat atau satu kalimat. Masing-masing varian bacaan tersebut tentu bisa dijadikan afirmasi metodologi secara acak. Umpamanya dalam mushaf  Utsmani (saja) sudah cukup kuat adanya pembuktian hipotesa ini, lebih-lebih sebelum bacaan al-Qur’an disatukan dibawah bendera dialek suku Quraysh, maka banyak sekali varian bacaan di dalamnya sebagaimana yang ditunjukan kitab-kitab sejenis, macam kitab al-mashâhif karangan al-Sajastani yang ditahqiq Arthur Jeffery, salah-satunya. Jadi, hal ini jelas tidak menegasikan berbagai mazhab filsafat untuk mengencani al-Qur’an dengan berbagai metodologinya; baik pembacaan konvensional maupun mutakhir; baik dari Islam maupun non-Islam –sepanjang pembacaan tersebut berada pada ‘batas-batas tertentu’–  sebab filsafat bahasa merupakan wilayah sekuleristik-profan. Dan antroposentrisme bahasa itu akan lebih kentara lagi jika mendiagnosa setting sejarah pembentukan gramatika Arab yang terjadi pasca kodifikasi al-Qur’an.


Rekontruksi sealur Antropolog
Dalam gramatika Arab, Nahwu (sintaksis), Sharaf (morfologis) Balaghah (sastra), adalah perangkat wajib sebagai media dalam memahami al-Qur’an dan Hadits yang nota benenya berbahasakan Arab. ’Perangkat keras’ ini mula-mula dicetuskan oleh Abu al-Aswad al-Duali atas mandat Ali R.A. ketika Ali R.A. menyaksikan penyimpangan-penyimpangan bacaan fushah al-Qur’an terutama orang-orang non-Arab. Sebagaimana telah maklum dalam dongeng sejarah Islam, pasca kewafatan Nabi terjadi secara besar-besaran penyebaran Islam melalui penaklukan-penaklukan kawasan di luar jajirah arab (a’zam) di mana kemudian semangat mempelajari Islam begitu besar dan sasaran pertama adalah al-Qur’an sebagai petunjuk semesta itu. Di sinilah akhirnya yang menjadi pemicu timbulnya ilmu gramatika secara sistematik-periodik hingga menemukan bentuknya ditangan Sibaweih. Islam sebagai sebuah ajaran bagi penganutnya, bagaimanapun, tidak bisa melepaskan diri dari ‘belenggu’ al-Qur’an dan, mau tak mau, harus mempelajari pra syarat bacaan grammar demi menuju pemahaman utuh al-Qur’an dan Islam. Karenanya, tak ayal jika Islam menjadi peradaban teks di mana proyek terbesar-nya adalah pasti melulu berurusan dengan korpus teks al-Qur’an dan Hadits. Tentunya meniscayakan mempelajari seluk-beluk teks secara mendalam guna mendedah kedalaman kedua sumber Islam terbesar tersebut. Di sinilah sebetulnya yang mendekatkan al-Qur’an dengan relevansi kajian linguistik secara umum.

Perlu ditekankan, hal demikian itu bukan maksud menafikan bahwa sebelum al-Qur’an turun standar Arab (baca: gramatika) belum terbentuk sebagaiman disinggung di muka. Sejarah mendokumentasikan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa fushah di saat budaya Arab kala itu sedang mengalami keemasan budaya syair jahiliyah dan tentu tidak bisa dipungkiri di dalamnya meniscayakan budaya dan gramatika Arab yang telah terbentuk sedemikian rupa, sekalipun  masih natural dan apa adanya. Maksudnya,  pembentukan gramatika bahasa bukan oleh norma-norma yang telah dipatenkan, sebagimana di tangan Sibaweih, namun lebih didasarkan pada kekuatan pengetahuan ‘ujaran fenomen linguistik’ (ma’rifah madlûl ibârah) ketimbang sistem gramatika yang (di)baku(kan) terkemudian (ma’rifah ibarat). Hanya saja tidak semua kaum Arab mampu membahasakan secara fushah sebab bahasa fushah, kala itu, merupakan ‘bahasa elit’ yang kebanyakan digunakan oleh ‘komunitas berpendidikan’ dan para ahli syair. Sementara untuk bahasa komunikasi sehari-hari tidak menggunakan bahasa fushah melainkan bahasa kampungan (amiyah), -mungkin analoginya persis seperti yang terjadi di kawasan Timur Tengah sekarang ini yang didominasi bahasa kampungan dalam komunikasi sehari-hari. Dengan sosio-kultur demikian, sebetulnya problemamatika bacaan fushah adalah isu lama, yang sudah terjadi sejak Islam belum datang. Itu pun hanya terjadi pada komunitas tertentu dan dalam skematika tertentu. Bahkan Nabi sendiri merasakan keprihatinan akibat problema bacaan fushah yang belum mentradisi, ketika ia melihat seorang sahabat yang berbicara dalam sebuah majlis tanpa menggunakan aturan gramatika hingga nabi menilainya telah tersesat dan segera menyuruhnya mempelajari tata-bahasa natural.  Sejak saat itu, usaha peletakan rancang bangun gramatika, sebagai gerakan fushahi-sasi terutama demi menyelamatkan bacaan autentik al-Qur’an, getol dilakukan para sahabat. Dalam pembakuan gramatika tesebut para pengkaji bahasa generasi pertama mencari justifikasi dari syait-syair kuno jahiliyah disamping bahasa komunkasi sehari-hari yang mendekati uslub standar al-Qur’an.  Dalam catatan sejarah masa sahabat, Umar R.A memulai gerakan ini yakni  ketika menegur Abu Musa al-Asyarie, walaupun ini di mulai dengan peristiwa insidentil. Hingga akhirnya usaha serius pembakuan gramatika pun datang dari Ali R.A ketika memandatkan kepada Abu al-Aswad al-Duali untuk menangani  problematika bahasa Arab yang sudah akut dan carut marut keluar dari batasnya, terutama ketika diaplikasikan dalam bacaan al-Qur’an –akibat belum ada standarisasi yang sistematik. Di tangan Abu Aswad-lah  gramatika mulai menampakkan jati dirinya melalui observasi kebahasaan atau hasil konsensus para sahabat. Yang mengejutkan adalah usaha Abu aswad dalam rangka observasi itu ternyata tidak hanya sebatas di lingkungan budaya Arab, ia kerap kali melakukan ekspidisi ke negeri Suryani dan tak jarang duduk berembug dengan para intelektual Suryani guna memecahkan problematika bahasa Arab, khususnya dalam tujuan  memperlakukan al-Qur’an agar tetap suci dan terjaga keautentikannya. Capaian terbesar Abu Aswad adalah, pertama, ketika berhasil menemukan tanda baca harakat (i’râb) pada setiap akhir kalimat atau tanda titik huruf pada bacaan al-Qur’an, yang sebelumnya masih berbentuk ‘gundul’  tanpa simbol bacaan; dan, kedua, meletakan kaidah dasar gramatika secara universal.

Nah, dalam kadar demikian, nampak jelas bahwa bahasa al-Qur’an memasuki wilayah kemanusiaan atau sejarah kebudayaan ketika ia harus terlebih dahulu berdialektika mencari ‘jati diri’ dengan keadaan sosio-kultur. Serta terdapat usaha-usaha manusia untuk menemukan ‘bacaan yang tepat’ manakala Tuhan mewahyukan dengan ‘meminjam’ saluran kode bahasa manusia sendiri. Dan betapa filsafat bahasa –lebih tepatnya gramatika sebagai hard ware filsafat bahasa– dalam budaya Islam sudah ada sejak zaman dahulu. Sekalipun usaha menuju itu dengan cara berdialektika dengan peradaban budaya lain, tapi bagaimanapun adanya akulturasi antar peradaban adalah sebuah hukum alam yang tidak bisa terelakkan dalam sejarah manusia. Wajar saja jika dalam perkembangan gramatika selanjutnya pengaruh peadaban dari luar tetap menampakan diri di tangan para ulama nahwu (gramar-ian) dalam tiga fase besar. Pertama, masa pembentukan di tangan Abu Aswad beserta para penerusnya. Kedua, masa pelebaran dari fase sebelumnya dengan menggunakan metodologi analogi-akumulasi langsung dari al-Qur’an sebagai sumber primer (justifikasi) gramatika Arab oleh Abdullah bin Abi Ishaq. Di sini bukan berarti memposisikan al-Qur’an sebagai panduan tunggal melainkan tidak lebih sebagai pencocokkan aplikasi-sample hasil (penemuan) teori oleh Abi Ishaq. Ketiga, fase penyempurnaan dan keemasan, hingga menjadi ilmu yang mandiri dengan memiliki metodologi yang telah sempurna. Di sinilah era keemasan gramatika Arab  menemukan diri ditandai  munculnya para raksasa gramarian seperti al-Kisai, Khalil bin Ahmad, dan Sibaweih sebagai ikon-ikon ulama ahli Nahwu zamannya. Yang perlu ditekankan dalam historiografi perjalanan gramatika Arab ini adalah dalam tumbuh-kembangnnya tidak pernah lepas dari keterpengaruhan peradaban luar Arab.

Semenjak fase awal keterpengaruhan itu sudah terlihat ditangan Abu Aswad yang sering melakukan ekspedisi ke negeri Suryani bagian Timur dimana sama-sama memiliki persenyawaan bahasa, yang menginduk ras Samiyah. Betapa Abu Aswad kagum dengan gramatika Suryani yang sudah sedemikian canggih. Ia pun kemudian melakukan studi leksikostatistik (penerapan statiska komparasi kebahasaan) bahasa suryani dan akhirnya mampu menyerap beberapa elan vital sebuah gramatika secara umum, seperti pembagian frase nominal (isim), verbal (fi’il), konjungsi (huruf),  pembeda huruf dengan peletakan titik atas-bawah, dan peletakan harakat dan infleksinya (perubahan bunyi akhir suatu kata) yang meliputi tiga bagian penting: rafa’ (nominatif), nashb (akusatif), dan jarr (genitif).

Secara sosio-kultural, jika dirunut lebih jauh, akan terlihat bahwa penerapan teori yang dilakukan Abu Aswad tersebut sebenarnya merupakan ilmu gramatika yang terdapat dalam peradaban  Yunani di mana konsepsi-konsepsi itu sealur dengan logika Aristoteles terlebih dalam kategori analogi. Sekalipun pada generasi awal Islam penerjemahan kitab Yunani belum dilakukan namun secara tidak langsung diam-diam telah berinkarnasi dalam tubuh peradaban Suryani. Kala itu Suryani telah terjalin kontak budaya sehingga transfer filsafat Yunani, melalui penerjemahan karya-karya filosof Yunani, sudah dilakukan. Dan Islam (Arab) sejak awal sudah terjadi kontak budaya dengan Suryani hingga memudahkan jalan para pengkaji bahasa, khususnya Abu Aswad,  untuk menelaah karya terjemahan Aristo secara langsung. Khususnya kitab Neqiequnveias dan ajaran neoplatonik yang sedianya sudah diterjemahkan jauh sebelum Islam datang.

Pencangkokan peradaban ini terus terjadi secara konstan-periodik hingga pada masa Khalil bin Ahmad; era di mana menandai babak puncak kematangan ilmu nahwu sejak saat itu. Ibnu muqaffa pun ikut serta memberikan kontribusi ketika ia, dalam pertama kali sejarah Islam, menerjemahkan karya filsafat Yunani hingga memudahkan ulama Nahwu dalam menelaah kajian filsafat sebagai studi banding bagi kemajuan gramatika Arab selanjutnya. Bahkan pengaruh filsafat Yunani tidak terbatas pada bidang gramatuka an sich, al-Jahiz adalah orang pertama yang menerapkan metode analogi dalam disiplin Balaghah hingga ia kemudian dikenal  sebagi seorang ikon ulama Balaghah. Begitu juga Khalil bin Ahmad menerapkan metode analogi dalam ilmu Arudh (tembang sastra) hingga sejak saat itu lebih terkenal disebut sebagai peletak dasar ilmu Arudh dibanding ulama nahwu –setelah konon ‘dipecundangi’ oleh muridnya sendiri, Sibaweih yang kelak menjadi ikon ilmu gramatika. Dalam pada itu problematika seputar perkembangan linguistik secara umum –khususnya muasal bahasa apakah termasuk ciptaan manusia atau langsung pancaran dari tuhan secara natural (taufiqy) atau kesusastraan Balaghah itu  dipandang secara maknawi atau bendawi (lafal)– sudah mulai diperdebatkan dipermukaan.

Membincangkan perjalanan gramatika Arab sejatinya tidak melulu bahwa ilmu tersebut terpengaruh dengan logika Yunani. Mengingat mazhab gramatika Arab terbagi menjadi dua; Bashrah dan Kuffah, yang masing-masing memiliki identitas dan kecenderungan sendiri-sendiri karena berbeda dalam epistema dan metodologi yang dipakai dalam ‘memproduksi’ standar gramatika Arab. Pemicu warna gramatika ini ternyata tidak lepas dari faktor politis di mana Kuffah dikenal pendukung fanatik Ali R.A. sementara Bashrah adalah pendukung fanatik Utsman R.A. atau pemicu lainnya bisa jadi latarbelakag budaya kedua mazhab tersebut. Bias perbedaan ini meruncing hingga muncul dalam terma-terma. Rata-rata kedua mazhab itu memiliki istilah yang berbeda sekalipun esensinya sama.  Dalam tataran epistema, mazhab Bashrah memilki corak gramatikal logika filsafat, hal ini wajar sebab latar belakang sosio-kultur Bashrah telah mengenal akrab dan tidak asing dengan ajaran-ajaran filsafat Yunani sebelum berkecimpung dalam dunia gramatika Arab sehingga spekulasi rasional sangat kental dalam mazhab itu. Bahkan hal tersebut didukung penuh oleh teologi setempat di mana sekte Syiah dan Mu’tazilah, yang menjadikan filsafat sebagai metodologi resmi, adalah sekte yang menghegemoni bahkan hampir menguasai sebagaian besar penduduk kawasan tersebut.

Sementara mazhab Kuffah memiliki corak gramatikal arabis, yang dalam metodologi mencukupkan diri dengan kekayaan budaya Arab klasik sekalipun dengan usaha susah payah. Keelokan logika filsafat sama sekali tidak tampak dalam gramatika mazhab Kuffah. Dan ini bukan tanpa alasan sebab filsafat, menurut pandangan mereka, adalah ‘barang haram’ yang rawan memberikan ekses negatif dalam nalar (agama). Gramatika mazhab Kuffah justru lebih mengandalkan pada periwayatan (metoda transmisi) dari pendahulunya sehingga peran nalar tidak begitu difungsikan –sebuah pemandangan yang tampak kontras dengan pemandangan yang terjadi di Bashrah di mana menempatkan nalar sebagai mesin analagi gramatika. Sayangnya mazhab kuffah, dalam cerita sejarah gramatika arab, tidak begitu diperhatikan oleh generasi setelahnya seakan tengelam begitu saja oleh seleksi alam bahkan dipecundangi oleh mazhab Bashrah akibat kemandulan metodologi yang (hanya) bersumber literatur arab (metode tranmisi/periwiyatan). Tentu kerapuhan metodologi ini memberikan ekses terhadap produktifitas gramatika sehingga tampak miskin dan akibatnya terpinggirkan.

Puncaknya adalah fenomena ‘pemasungan mazhab’  yang tampak sengaja dilegalkan dalam tradisi keilmuan nahwu ketika muncul adagium gagah: ‘ketika terjadi konfrontasi mazhab Bashrah dan Kuffah, maka yang dimenangkan adalah Bashrah’, sebagaimana telah familiar dibenak pengkaji  gramatika Arab. Tentu ini tak lepas ulah anomali-anomali para raksasa ilmu Nahwu yang kebanyakan berasal bukan dari bangsa Arab, macam Sibaweih yang berdarah Persia.  Ia, bagaimanapun, dianggap  duta besar kubu Bashrah yang menuai sukses besar menjadikan gramatika Arab bergenre filsafat menjadi jawara sepanjang sejarah Islam. hegemoni Sibaweih melalui magnum opusnya al-Kitab nampak menyihir umat Islam dalam berbagai tradisi keilmuan menjadikan al-Kitab sebagai standar baku gramatika selayak mazhab Fiqh dalam mempertahankanya. Bahkan terkesan (di)‘sakral’(kan) hampir menyamai kedudukan al-Kitab (baca: al-Qur’an) di mana tak seorang pun ulama meyangkal atau menampiknya di zamannya. Ia, oleh generasi pasca-Sibaweih, diibaratkan sesosok founding father gramatika arab, sebagaimana Ibnu Sina dalam meracik ilmu kedokteran. Disini nampak betapa sebuah pengetahuan yang meng-ideologi (knowledge) dan kekuasan (power) para penganutnya saling berkilandan hingga menjadi sebuah dominasi tunggal, persis sebagaimana analisis Michel Foucault.

Selama beberapa abad, bahkan hingga sekarang, hegemoni Sibaweih begitu mencengkeram belantara keintelektualan gramatika Arab. Sibaweih seakan didaulat menjadi maskot gramatika yang tiada tanding bahkan gramari-an yang mencoba melawan arus mainstream dengan sibaweih-an, sepertinya tidak berkutik untuk menentang, menantang, bahkan menumbangkan atau paling tidak menjadi oposisi kuat mazhab Sibaweih.

Berbicara tentang oposisi pengetahuan, sebetulnya jika ditarik ke belakang terdapat beberapa sosok ulama klasik yang sebetulnya cukup layak menjadi tokoh oposan seandainaya mazhab mereka diekspos dan respon baik oleh masanya. Sayangnya dukungan nampaknya tidak ada sehingga metodologi ulama klasik yang sebetulnya   berseberangan kuat dengan metodologi Sibaweih ini tidak muncul ke permukaan bahkan terkesan dimarginalkan oleh alam sejarah. Tercatat ada dua ulama Nahwu benar-benar memilki watak metodologi berbeda dengan metodologi Sibaweih –yang  kelak metodologi ini menjadi inspirator cikal-bakal penyemangat lahirnya pemikir pembaharu gramatikal-filsafat bahasa kontemporer. Ulama pembaharu klasik itu pertama, adalah Abu Fath Utsman yang lebih dikenal Ibnu Jinni (W.395H). Ia adalah  salah satu ikon mazhab Bagdad –mazhab nahwu yang lahir setelah mazhab Bashrah dan Kuffah–  hidup dimasa pemerintahan Bani saljuk dan semasa dengan salah satu sastrawan besar Islam,  al-Mutanabbi. Ia mengarang kitab al-Muhtasib dan al-Khashâis. Karya ini banyak dijadikan pijakan referensi oleh ulama pembaharu bahasa setelahnya seperti Ibnu Madha, termasuk juga pemikir kontemporer. Karyanya begitu imferatif, memuat bahan-bahan bernilai progresif-rekontrukstif dan banyak melahirkan perombakaan-perombakan dalam gramatika Arab, khususnya pandangan tentang filsafat Bahasa secara mendalam; sebuah terma baru yang tidak banyak dilirik oleh ulama sebelumnya.

Kedua,  Ibnu Madha al-Qurtubi (W. 592H.), seorang duta mazhab gramatika Andalusia yang hidup dua qurun sepeningal Ibnu Jinni. Dalam catatan sejarah, ia termasuk salah satu qadhi dinasti Muwahiddin. Pembaharuan yang ia lakukan semata-mata tidak lepas dari sosio-kultur yang  gembor mengkampanyekan gerakan oposisi terhadap tradisi keilmuan wilayah bagian timur. Kala itu Amir Ya’qub, penguasa dinasti Muwahiddin mensponsori pembaharuan hampir semua disiplin ilmu sebagai bentuk protes perlawanan massif terhadap tradisi keilmuan keagamaan produk wilayah Timur yang menghegemoni semua kawasan daerah Islam. al-Qurtubi mengakui terinspirasi dengan kesuksesan mazhab Dzahiriyyah, yang menjadikan mazhab itu sebagai mazhab yang dianut sebagian besar penduduk kawasan andalusia.


Rekontruksi sealur Metodolog
Dalam menghadapkan hegemoni gramar konvensional, sebagai arah menuju rekontruksi, telebih dahulu harus menganalisa ide-ide apa atau lebih tepatnya metodologi apa yang dikembangkan dan dijadikan patokan oleh para gramarian klasik. Atau sebagai seorang analis patut juga mencurigai postulat-postulat yang dikembangkan, disamping ragam pengaruh peradaban luar terhadap peran pembentukan gramatika Arab yang justru lebih terasa aroma Yunani dibanding aroma padang pasir sendiri. Berangkat dari pemetaan ini, setidaknya sudah bisa memahami wilayah mana yang harus di garap demi menuju alur rekontruksi metodologi. Pun tahu betul bagaimana menampilkan (kembali) relasi formasi-formasi gramatika yang tersubordinasi di mana sesungguhnya bisa dijadikan sebagai ‘gramatikal komplementer’. Sangat riskan, jika tidak dikatakan mustahil, menggarap proyek bahkan melabrak kontruksi diskursif yang sudah membumi demikian hebat. Salah satu jalan adalah upaya penyadaran dari orang Islam sendiri sebagai produsen sekaligus konsumen pengetahuan. Jika meminjam teori M. Foucault, segala bentuk sejarah pemikiran baik keagamaan maupun pengetahuan umum selalu meniscayakan celah-celah diskontiunitas. Lantas dengan diam-diam menyelinap masuk ke dalam lipatan diskontiunitas itu sembari membawa celah-celah pragment tersebut untuk didaur ulang dengan baju rekontruksi.

Bagaimanapun, meskipun sejarah itu sendiri seolah-seolah membiarkan begitu saja segala macam peristiwa kesejarahan hingga kemudian membentuk struktur mapan kemudian. Namun tetap itu hanya merupakan bentukan manusia semata; bagaimanapun disana akan ditemukan retakan-retakan, serpihan-serpihan ketidak-ajegan sejarah yang mengendap yang terpinggirkan dan terabaikan. Sekalipun mutasi-mutasi itu merupakan sesuatu yang berlawanan dengan hal yang sakral atau meng-ideologi. Persis asumsi kesejarahan yang berkembang dalam Islam bahwa bahasa Arab adalah bahasa sakral sebab merupakan bahasa al-qur’an atau bahasa  ahli surga. Karenanya haram diutak-atik atau didekati dengan pendekatan ilmiah.

Nah, andai saja bisa membongkar persepsi-persepsi demikian dan kemudian menerimamnya –sebagaimana tawaran hipotesa di muka– tentu ini sebuah ‘apresiasi dan pengetian luar biasa’. Sebab, diskontiunitas yang paling radikal adalah retakan-retakan yang tercipta dari sebuah transformasi berdaya kekuatan teoritis yang darinya mampu memunculkan sebuah pengetahuan tandingan atas pengetahuan yang terlanjur menjadi ideologi. Tentu dengan mencerabut kontruksi dikursif akar ideologi masa lalu itu sembari membuktikan bahwa pengetahuan masa lalu tidak lebih hanya sebuah ‘penemuan manusia’ yang kemudian di-ideologi-kan oleh manusia biasa lainnya.

Di sini, jika telah membaca hipotesa pembedahan sejarah-antropologi di atas betapa bahwa pengaruh kebudayaan filsafat (al-tsaqâfah al-manâthiqah) begitu besar mempengaruhi para gramarian untuk membentuk pengetahuan gramatika yang mapan dalam opini publik pembaca hingga kini. Betapa para gramarian terpengaruh hebat oleh konsepsi-konsepsi yang merupakan produk murni dari filsafat seperti konsepsi analagi, induksi dari akumulasi-akumulasi umum yang membentuk penggeneralisiran teori dari sample bacaan terbanyak –tanpa mempedulikan contoh sedikit yang sebetulnya berpotensi atau dipotensika sebagai teori baru. Mungkin di sinilah yang memperparah wajah gramatikal Arab sehingga yang nampak adalah keseragaman gramatikal yang konsekuensinya adalah  penyalahan atas bacaan yang tidak seragam tersebut. Adalah menarik ketika menganalisa para pembaharu gramatika modern sebab hampir semuanya memiliki formasi-formasi yang senada dalam merekontruksi  pembacaan gramatika Arab. Dan yang mengejutkan hampir semua terinspirasi oleh dua tokoh rekontruksi klasik; Ibnu Jinni dan Ibnu Madha al-Qurthubi. Dua raksasa gramarian ini menjadi kaki pijak referensi pemikir kontemporer. Sebut saja Syauqi Dhaif dalam Tajdîd al-Nahwi, Ahmad Darwis lewat Inqâd al-Lugah min Aydi al-Nuhât, Zakaria Ouzon lewat Jinâyat al-Sibaweih.
Menurut Ibnu Madha, bahwa rekontruksi gramatik harus diawali dengan pembongkaran-pembongkran radikal bangunan pondasi gramatika klasik, yang dianggap tidak perlu, yang justru mempersulit beban bacaan serta jauh dari capaian fungsi gramatika itu sendiri. Upayanya adalah mengembalikan otoritas gramatika yang sejatinya sebagai media pembantu dan bertujuan memperingan bacaan. Ia memulai proyeknya dengan meruntuhkan struktur tiang utama bangunan-bangunan yang melingkupi tembok gramatika. Pertama, pengguguran Amil. Kedua. Pengguguran Analogi dan Illat. Hal ini menurutnya dianggap sebuah keniscayaan sebab dengan perangkat Amil-lah gramatika konvensional memulai segala sistematika yang berbau spekulasi logika. Di sini Ibnu Madha  mempertanyakan kembali  secara mendasar entitas dan fungsi Amil itu sendiri sembari mengkritik eksistensi dan segala konsekuensi yang lahir daripadanya. Dengan tegas menyatakan:
...penemuan Amil (oleh gramarian) sebenarnya merupakan tindakan ceroboh yang tidak memiliki tendensi logika dan justifikasi dari syara’. Belum pernah orang berakal sehat menyatakan demikian; di mana sengaja memperkeruh permasalahan gramar menjadi pelik, padahal asal maksudnya sudah jelas
Ia menganggap bahwa pembentukan atau penemuan Amil tidak perlu dilakukan sebab hanya merupakan pekerjaan sia-sia yang dibuat oleh gramarian dan sama sekali bukan merupakan representasi ilmiah gramatika itu sendiri. Artinya bahwa terapan teori Amil yang kemudian dalam terma gramatika dikenal sebagai Amil Lafdzi (yang menyembul) atau Amil Maknawi (yang tersembunyi) sebagai prasyarat dalam mereproduksi logos tersusun (kalam), seperti kalimat dharab(a) zaid(un) ‘amr(an); bahwa frase subyek terbaca rafa’ dan objek terbaca nashab semata-mata oleh sebab faktor Amil Maknawi yang tersimpan dalam kata verbal (dharab[a]), sebetulnya adalah kekeliruan fatalis yang dilakukan oleh gramarian. Ia menandaskan bahwa terjadinya pembaca demikian semata-mata oleh  ujaran penutur (mutakalim) dan sama sekali bukan pengaruh Amil. Justru ia memiliki kecurigaan-kecurigaan  bahwa pembentukan postulat Amil tidak lain bertujuan merusak kewibawaan sastra Arab yang sudah dikenal bercitarasa tinggi dan beradab sejak pra-Islam. Sepertinya, tidak jauh beda dengan kolonialisme bahasa yang dilancarkan orang non-Arab (Persia) atas Arab sendiri (ketika mereka tidak mampu melawan dengan kekuatan senjata).
Jika ditelisik dengan frame work wide angle, apa yang dilakukan oleh Ibnu Madha bisa jadi mula-mula bukan pertimbangan ilmiah melainkan lebih bersifat ideologis-politis. Andai saja tidak mendapatkan insiprasi besar dari Ibnu Jinni, tokoh reformasi gramatika yang hidup dua kurun setelahnya, kemungkinan besar ia tidak mampu melakukan pembabatan-pembabatan demikian prontal. Apalagi hanya sebagai seorang Qadhi dinasti Muwahiddin. Bias-bias ini terbukti pada halaman muka manakala ia langsung mengutip paparan dari Ibnu Jinni-  sembari mengomentari dengan menariknya pada kubangan teologis antara sekte Mu’tazilah dan ‘Ahl haq’.  Namun demikian,  bias ideologis-politis itu untungnya bisa ditempatkan secara proporsional sebab mampu mengalokasikan secara rapih di luar sistem lapangan gramatikal. Jadinya sekedar berfungsi ruh motivator dan tidak bermain ke dalamnya, sekalipun sekali-kali menampakan diri dalam bangunan baru tersebut.
Pun dalam tataran rancung bagun epistema ibnu madha tergugah mazhab Dzahiriyah yakni dengan mengadopsi perangkat epistema Dzahriyah dalam kuasa otoritas fenomen(dilalah). Sebagaimana telah maklum, bahwa norma yang dijadikan sandaran mazhab Dzahiriyah adalah dilalâh lafdziyah yakni mengestimasikan bahwa keberadaan teks sudah jelas dan tidak memerlukan interpretasi lain. Ibnu Hazm mengungkapkan tentang hal ini dalam al-Fishal:

Ketahuilah bahwa agama Allah (ta’ala) itu lahiriah bukan bersifat batiniah. Ia terang-benderang tidak ada yang misterius didalamnya. Semua ini merupakan bukti nyata, tiada ‘toleransi’ (apapun) di dalamnya... universalitas nilai kebajikan adalah apabila kalian memegang teguh atas apa yang dibebankan oleh Tuhan dalam al-Quran dengan media perantara bahasa Arab sebagai penjelas yang tidak satu pun didalamnya luput dari penjelasan

Inilah yang mendasari Ibnu Madha atas serangannya terhadap Timur-Arab yang sebetulnya berangkat dari persilisihan wilayah ideologis  antara mazhab Dzahiriyah dengan sekte lainnya manakala berinteraksi dalam memperlakukan teks dalam gugusan bingkai peradaban Islam. Atas dasar itu pula, menyeret ujaran teks pada selain zona lahiriah ditolak mentah olehnya sebab entitas teks sudah jelas dengan sendirinya bahkan mampu menampakakan diri tanpa perlu diutak-atik dengan metode  pentakwilan atau semacamnya. Kekuatan mengolah teks demi menemukan esensi makna tersembunyi didalamnya justru sudah ada dalam pelambang bahasa. Maka dengan demikian, dalam memahami dan menangkap makna teks tiada jalan lain kecuali yang diperlukan hanyalah unsur pengetahuan bahasa secara komprehensif dan sama sekali tidak memerlukan intervensi akal manusia bermain didalamnya sebab jadinya hanya permainan spekulasi akal.

Wajar jika metodologi yang digunakan Ibnu Madha serupa dengan metodologi Dzahiriyah yang mengandalkan dilalâh lafdziyah; indikasi bahasa fenomen itu sendiri (fenomenologi) sebagai stigma rekonstruktif gramatikal. Ia menolak Analagi (Qiyâs), pembuangan (Hadzf), interpretatif (Ta’wil), kemudian penghapusan radikal perangkat Amil dan Illat; gugus-perangkat metode mainstream gramatika generasi awal. Ia pun menegaskan bahwa konsensus para gramarian kuno tentang penetapan Amil adalah tidak beralasan dan bukan merupakan hujjah sebab tidak masuk finalitas hukum. Di sini lagi-lagi ia mengutip langsung pendapat Ibnu Jinni.

Hampir-hampir saja ia tidak memiliki optimisme seakan tidak memiliki pendirian mandiri guna membangun kokoh dalam pembentukan gramatika baru, namun demikian –sepertinya– hal tersebut tidak akan mengurangi kehebatan hasil reproduksi gramatika barunya, yang diluar prediksi ternyata menuai sukses gemilang  di mata pembaharu gramatika kontemporer. Salah-satu yang nampak kelihatan membekas dalam corak pemikir kontemporer itu adalah Syauqi Dhaif dalam karya Tajdîd Nahwi; sebuah karya yang dianggap paling represntatif untuk model gramatika genre rekontrukstif kontemporer. Dan tentu bukan tanpa alasan jika pemikiran Ibnu Madha dinapak tilasi terkemudian, sebab jika ditilik secara ilmiah ternyata layak pakai serta memiliki kelenturan gramatika yang  simplisit dan memudahkan, sebagaimana harapan terdalam dari Ibnu Madha. Ini berarti bahwa sebetulnya sebuah proses mutualisme (ta’sir wa taatsur) adalah sesuatu yang dianggap natural sekalipun sedikit menyimpang dari kepentingan pedagogik. Untungnya pembelaan pedagogik murni ini telah dimunculkan ke permukaan sejak awal-awal genderang rekontruksi ditabuh; manakala disandarkan pada tokoh Ibnu Jinni, seorang reforman gramarian dan ahli bahasa Pasca-Sibaweih.  

Hal yang paling menarik dalam sejarah antagonisme intelektual gramatika konvensiona, yang kemungkinan besar dijadikan alat senjata justifikasi Ibnu Madha, adalah riwayat perbincangan kontroversial antara al-Jahiz dan Abu Hasan al-Akhfas, seorang pemuka gramatika, yang direkam dalam kitab Hayawân-nya al-Jahiz. Ketika itu al-Jahiz menanyakan perihal gramatika yang dibuat Akhfas terkesan begitu rumit dan seperti sengaja (di)ambigu(kan) dalam rumusan diskursus gramar hingga nampak susah  dicerna otak. Dengan enteng lantas Akhfas menjawab, bahwa hal tersebut adalah buah kesengajaan dan hipokrasi gramatika buatannya agar tetap dilirik pengkaji, dengan begitu mereka akan tetap bergantung padanya dan akhirnya menjadikan sebuah profesi pekerjaan, lebih-lebih ia menganggap disiplin itu bukan termasuk buku keagamaan. Di sini terlihat betapa jelek anomali intelektual yang dilakukan Akhfas dan bisa jadi ia mewakili sekian gramarian yang bermazhab sama. Di satu sisi, kasus ini menjadi angin segar tersendiri bagi proyek rekontruksi Ibnu Madha, paling tidak demi mengukuhkan legitimasi citra gramatika barunya. Namun yang lebih fatal adalah kasus ini kerap kali dijadikan dalih kesombongan para pemikir modern secara generalisir, ketika mendaku bahwa tradisi gramatika tidak memiliki akar ilmiah yang kuat. Para pengkaji bahasa modern sepertinya melalaikan dan tidak bisa membedakan antara entitas bahasa sebagai sebuah sistematika (nidzâm lugâh) bercirikan perangkat soft ware, yang merupakan identitas para penggelut filsafat bahasa; dan ujaran (kalam) itu sendiri bercirikan perangkat hard ware sebagai  identitas murni para gramarian.      

Sikap penolakan secara tegas Ibnu Madha terhadap konsep Amil –yang semata-mata sekedar ingin memberontak atas pengetahuan Timur-Arab yang kental dengan nuansa ideologis-politis–, pada akhirnya sukses menemukan nihilisme watak dan substansi terhadap konsepsi Amil. Sikap ideologis-politis ini secara totalitas diambil alih oleh ibnu madha dari semula merupakan wilayah teks-teks keagamaan kemudian di tarik paksa menuju konteks kajian linguistik. Dalam hal ini mungkin agak dianggap ganjil dan tidak sportif. Namun demikian upayanya meneliti teks untuk menyingkap dimensi mekanisme teknis gramatika sebagai alat pembantu bahasa adalah lumrah dan normatif, jika dipandang sebagai seorang peneliti dan pengkaji bahasa.

Ini berarti secara mengejutkan telah terjadi di alam bawah sadar sebuah peristiwa transformasi kebudayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maksudnya jika dimensi ideologis atau katakanlah dimensi budaya agama ditempatkan secara implisit bahkan tidak kentara dalam permukaan kulit gramatika oleh gramarian macam Sibaweih dalam al-kitabnya, maka sekarang oleh Ibnu Madha secara terang-terangan diusung dalam mengawali rekontruksi gramatikanya demi melabrak bangunan mapan gramatika Sibaweihi-an, sebagimana bias ideologi tersebut disingung di halaman muka.  Bias-bias ini kerap ia bawa dalam mempermasalahkan kerancuan gramatika ala Sibaweih bahkan ia mendekatkannya dalam aplikasi  teks-teks keagamaan (baca: al-Qur’an). Tentu ini menjadi persoalan yang genting dan rawan klaim pengkafiran  sebab telah memberanikan diri memasuki area ‘ancaman Tuhan’; bahwa ‘siapa pun yang meletakkan ‘tambahan aksesoris’ dalam al-Qur’an dengan mendasarkan pada anggapan yang  benar-benar jelas kesalahannya berarti secara tidak langsung telah mendaku firman tambahan Tuhan tanpa ilmu’. Menurutnya penambahan aksesoris baik secara lafal maupun makna adalah konsensus (di)haram(kan) sebab telah melakukan tindakan reduksi dan afirmasi formula baru terhadap kalam al-Quran, ini tidak ubahnya sedang menggerogoti kehormatan al-Qur’an sendiri.  

Dengan demikian, ilustrasi di atas menjelaskan betapa serangan yang dilancarkan Ibnu Madha adalah, sebenarnya, merampas konsep Amil sebagai ejawantah mental-interpretatif dialokasikan menuju nihilisme Amil sebagai ejawantah wujud realistis. Amil-Amil tersebut jelas tidak memiliki kekuatan watak dan daya ‘kehendak berkuasa’ sehingga adalah keniscayaan untuk mengalihkan konsepsi perangkat interpretatif (ter)besar amil-isme menuju konsepsi pembebasan dalam wilayah pelaku penutur sendiri (mutakalim). Sekaligus juga dengan menyatakan bahwa pembuatan proyek amil-isme tersebut tidak lebih dan tidak kurang merupakan anak pengaruh budaya filsafat (tsaqâfah manâthiqah) yang menghegemoni di wilayah tersebut, kemudian meng-akulturasi-kan diri dalam nalar gramatika sehingga wajar jika gramatika ala Sibaweih disebut-sebut sebagai gramatika filosofis.
***
Kedua, Analogi (Qiyâs) dan Ratio-legis (Illat). Sebetulnya permasalahan Qiyas jika ditelisik dalam relung sejarah klasik sejak abad II H. sudah ada polemik antara yang mendukung dan menolak. Qiyâs merupakan penilaian hukum terhadap sesuatu yang tidak ada teksnya dengan penilaian hukum yang sama yang tersembul dalam teks. Di sini corak pengaruh metodologi Fiqih dalam legalitas Qiyâs begitu kentara dalam gramatika. Hampir tidak ada bedanya, hanya objek kajiannya yang berbeda. Sibaweih menetapkan analogi dalam gramatika berkisar pada dua diskusrsus; pertama. Analogi kalimat verbal (fi’il) atas kalimat nominal (isim) khususnya Mudharie. Kedua, analogi adjective (shifat) terhadap kalimat verbal (fi’il) dalam bentuk pengamalan, yang kemudian disebut terma ‘analagi atas analogi’ (qiyâs ala qiyâs). Ibnu Madha menyerang atas terma Qiyâs ini tentu tidak lepas dari bias ideologisnya di mana ibnu hazm, sebagai inspirator terbesarnya, tidak menerapkan epistema Qiyâs dalam corak Fiqihnya. Ibnu Hazm menyatakan kerancuan Qiyâs dipandang dari beberapa sisi. Pertama, pernyataan para ahli Fiqih yang berkaitan seputar hukum yang tersembunyi (ma lâ nash fîh) dan tidak ada teksnya secara termaktub merupakan sesuatu yang tidak mendasar pada kebenaran, sebab seluruh hukum agama telah termaktubkan secara jelas dan tegas dalam ‘kuasa teks’. Kedua, seandainya pun ada hukum lewat afirmasi analogi maka tidak bisa dipertanggung- jawabkan secara nalar ilmiah; itu merupakan gawe-gawe goroh. Ketiga, pernyataan bahwa kedua premis itu memiliki Illat hukum yang sama adalah bualan,  sebab sama sekali tidak ada bentuk ratio-legis (Illat) dalam penetapan hukum-hukum Tuhan. Tuhan hanya menguji tanpa berhak menjelaskan pada hambanya atas pembebanan hukum. Jadi jelas merupakan hak  preogatif Tuhan.  Dengan demikian wajar jika Ibnu Madha menganulir perselisihan seputar legalitas Qiyâs dari wilayah kontroversi Fiqih kemudian mengalihkanya menuju wilayah kontroversi gramatikal-nahwiyyah, sebagimana persis dalam kasus Amil. Dalam hal ini Ibnu Madha senada-seirama dengan gugatan Ibnu Jinni terhadap konsepsi Qiyâs dan Illat yang didengungkan gramarian, bahwa kecenderungan membebek terhadap epistema analogi Fiqih adalah sesuatu yang tidak usah disangsikan lagi sekalipun pada akhirnya berdalih demi evolusi hukum yakni tujuan analogi itu hanya sekedar peringan bacaan (takhfîf) dan lokus distingtif.

Ibnu Jinni menegaskan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang reduktif dan terlalu mengada-ada yang sebetulnya tidak ada relevansi dalam gramatika, sehingga ia pun ‘berkewajiban’ berusaha membebaskan dari jebakan terali ciptaan tersebut. Ia begitu memimpikan bahwa bacaan standar gramatika tidak perlu disamakan dengan Fiqih sebab terlalu memberatkan terhadap bacaan itu sendiri. Yang ideal adalah sesuai kehendak pembacanya tanpa ada aturan yang membelunggu dibelakangnya sehingga  sebuah pembacaan menjadi ‘wilayah tanpa batas’. Dalam ranah apikasi, tentu ide tersebut amat membantu bagi para pengkaji yang kesulitan ketika sebuah bacaan ideal harus menerobos belantara rumusan ciptaan gramatika sebagai pra syarat membaca. Tahap yang paling mendebarkan dalam gugatan atas bacaan konvensional adalah ide langkanya; sebuah proyeksi ‘bacaan ekstrim’ yakni ketika fâil (subjek) atau maf’ûl (objek) sah-sah saja dibaca tidak sesuai aturan yang ada, sebab pada dasarnya aturan mapan yang ada hanya merupakan buatan logika-analogi gramarian semata dengan mengoprasikan kontrol Amil. Untungnya pada titik nadir ini Ibnu Madha masih mengacu pada standar bacaan konvensional, sekalipun tidak mendasarkan diri pada sebuah alasan yang digunakan oleh gramarian sebab, sebagaimana telah maklum, bahwa ia menghujam keras analogi. Ia menyetujui atas konsep bacaan harakat/i’rab fâil atau maf’ûl sebagaimana bacaan umum, namun semata-mata beralasan karena hal tersebut merupakan ‘hasil kesepakatan bersama’ yang telah mentradisi dari alam pikiran Arab (baca: simâ’i).

Penyerangan Ibnu Madha atas analogi gramatika lebih ditekankan bahwa sesungguhnya para gramarian tidak memahami secara totalitas seluk-beluk tentang struktur analogi sendiri di mana analagi mengandaikan empat syarat pembentukan; asal, cabang, ratio-legis, dan hukum. Sehingga akibat mis-understanding ini yang terjadi adalah kerancuan produk hukum yang dihasilkan sebagimana nampak dalan diskursus penganalogian isim atas fi’il dalam terma isim anti tanwin (ghair munsharif), misalnya. Konsep analogi tak lebih suatu kejahatan akal gramarian sehingga akal telah memaklumatkan tindakan otoriansime atas teks dengan coba-coba meng-in(ter)vensi teks sesuai kehendak gramarian bahkan menjerumuskan pada jurang penafsiran nalar dibalik gramatikal. Al-Jabiri pun senada, bahwa persoalan gramatika ala Sibaweih terlalu jauh ditarik menuju permainan filsafat ketimbang disebut sebagai ilmu analatik gramatikal. Ini bisa terlihat dengan terma-terma yang cenderung terpengaruh filsafat, seperti terma hasan, qabh, jawâz, wajib, dan tanâqudh; sekawanan terma yang akrab dalam dunia filsafat; sebentuk verifikasi dan falsifikasi yang kental dengan spekulasi rasionalitas. Sibaweih sama sekali tidak menggunakan Syadz atau sejenisnya yang justru itu lebih menemukan ruh persenyawaan dalam dunia ujaran atau tulis-menulis (baca: gramatika).

Hampir semua pemikir modern sepakat dengan apa yang disuarakan oleh Ibnu Madha dan Ibnu Jinni untuk melawan hegemoni konsepsi bacaan konvensional ala Sibaweih. Bahkan apa yang ditawarkan oleh Zakari Ouzon adalah sebuah bacaan yang benar-benar radikal. Ia menggugat habis dengan semua hampir metodologi gramatika konvensional. Secara garis besar ia menawarkan beberapa konsep bacaan baru guna meruntuhkan bangunan gramatika ciptaan Sibaweih. Pertama, pembebasan bacaan dari ketundukan harakat/i’rab akhir kalimat. Kedua, restrukturalisasi aturan ‘bacaan rancu’ dengan melandaskan diri pada dinamisasi logis antara simbol tanda dan gejala fenomen (dâl dan madlûl). Ketiga, re-formasi pengaruh zaman dalam struktur kalimat dan efektitas perangkat penyambung kalimat (adawât al-hurûf).  Ia juga menyayangkan dengan ketundukan sebuah aturan gramatika pada kuasa bacaan tunggal Sibaweih an sich. Padahal gramatika itu buatan manusia sahaja. Sembari melupakan hal yang paling krusial sebagai acuan kiblat bacaan membebaskan dari gramatika Sibaweih itu; yakni korpus suci al-Qur’an sebagai kalam khalik, pencipta sekaligus pemilik aturan gramatika makhluk. Al-Qur’an-lah semestinya yang menjadi pedoman aturan bacaan, bukan malah tunduk di bawah bayang-bayang Sibaweih. Nyatanya jika menilik langsung pada al-Qur’an banyak terdapat ragam varian bacaan yang tidak sesuai bacaan sibaweih-isme. Ini berarti memaklumatkan bahwa al-Qur’an yang dalam sejarah awal-awal pembentukan gramatika dijadikan sebagi saksi sample justifikasi varian bacaan, maka sekarang menjadi  rekaman autentik standar gaya bacaan dahulu yang pernah ada dalam arkeologi gramatika. Seakan al-Qur’an menjadi seberkas cahaya yang menyinari di tengah gelapnya pekat malam. Seakan al-Qur’an menerobos rimba bacaan gramatika yang penuh berbagai ‘kemacetan’ di dalamnya, yang sebagian mengeras bagai batu dalam lempitan-lempitan alam sejarah. Seakan Al-Qur’an menyajikan sebuah penemuan area diskontiunitas di atas bayang-bayang hegemoni kontiunitas bacaan Sibaweih, melalui retakan-retakan dan serpihan-serpihan yang terhampar berserakan dalam arkeologi (bacaan) al-Qur’an.

Singkatnya, ketika al-Qur’an, oleh ulama kuno, dijadikan sebagai satelit pembentuk gramatika tradisional, maka demikian pula, oleh ulama kini, secara mengejutkan al-Qur’an tiba-tiba kembali diposisikan sebagai lokomotif untuk merekontruksi pembacaan gramatika tradisional-konvensional.

Al-hasil, disisi lain, nampak jelas bahwa perbedaan teologis mengenai persoalan penciptaan bahasa begitu mempengaruhi bahkan mendapatkan gemanya dalam diskursus pembentukan gramatika. Sehingga mazhab-mazhab gramatika yang tumbuh-kembang tidak bisa melepaskan diri dari latar peran teologi yang hidup dalam era pengarang. Sekalipun kadang penampakan teologi itu melebur bergantung kadar realitas budaya dan ‘masyarakat’ gramatika. Di sini akan terlihat signifikansi teologi terutama dalam asal–muasal bahasa itu terwujud. Akan terlihat bahwa perbedaan antara Dzahiriyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah bukan terletak pada persyaratan makna yang menjadi petunjuk semiotika. Akan tetapi lebih dipicu oleh gelombang perbedaan stigma primordial dalam asal-muasal makna dan lafal. Apakah makna itu dari Tuhan yang diilhamkan kepada Nabinya atau semata-mata ciptaan manusia sehingga konsekuensinya masing-masing memiliki relativitas produksi bahasa yang berlainan. Dalam persinggungan hasil-akibat persepsi pluralitas muasal bahasa ini, maka akan merembet lebih jauh menjadi faktor determinan dalam permasalahan entitas bahasa al-Qur’an. Mu’tajilah, umpamanya, karena berangkat bahwa dari premis bahwa bahasa merupakan ciptaan manusia, maka otomatis segala hal yang berkenaan atau masuk lingkaran jejaring bahasa disebut sebagai bahasa makhluk. Al-Qur’an pun dengan pemaknaan demikian ini berarti tidak lain hanya merupakan kata-kata manusia (baca: Nabi), dan tidak lebih dari itu. Sebab kandungan dan nilai bahasa yang digunakan al-Qur’an adalah bahasa ‘alam manusia’ bukan ‘alam Tuhan’ lagi. Sebagaimana pula hipotesa kebalikannya; manakala al-Qur’an dianggap sebagai kalamullah maka jelas mengandaikan bahwa bahasa secara universal adalah berasal langsung dari Tuhan.  

Bahasa ‘kontemplasi’
Sebuah rekonstruksi, apa pun jenisnya, kadang menjadi tumbal sejarah. Ia  tidak mampu melampaui atau meninggalkan sekat batas budaya dan masanya; hanya sekedar bergerak di tempat dalam jeruji cakrawala budaya masa itu [betapapun ia  berusaha hebat melampauinya]. Terma rekontruksi, menyoal relevensinya dalam konteks kini, paling baru sebatas keberhasilan mewujudkan ambisi-ambisi rekonsiliasi dan restrukturiasi dalam tataran epsitema. Belum pada tataran praksis sebab sepertinya sulit jika lebih dari itu yakni harapan inkusisi cuci otak para gramarian. Tentu letak persoalannya adalah pada tingkat kesadaran umat Islam sendiri untuk menerima atau bahkan mencampakannya. Dan mungkin yang tragis bahwa rekontruksi bacaan tidak lebih sebuah pengetahuan yang sekedar membonceng ‘eporia kedigjayaan epistema logosentrisme abad ini’ yang kemudian menghantarkan pada kontrubusi rekontruksi bangunan epistema linguistik Islam dalam pengertian lebih khusus. Sekalipun berani bertaruh bahwa pada dasarnya rekontruksi kajian logosentries adalah metamorfosis rekontruksi paling mutakhir dalam sejarah panggung dunia filsafat. Jadi sangat beralasan andai rekontruksi linguistik adalah disiplin ilmu (ter)sukses di antara barisan rekontruksi ilmu Islam lainnya –karena kebetulan sedang menemukan momentumnya. Namun demikian, tetap saja akan nihil jika tidak ada kesadaran massif sebab, lagi-lagi, sebuah ‘kontruksi diskursif’ (baca gramatika konvensional ala Sibaweih) yang sudah mapan dalam opini publik –lebih-lebih telah beberapa abad lamanya; sejak era Sibaweih– tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab meniscayakan perlawanan-perlawanan hebat di dalamnya. Apalagi ditopang oleh kekuatan sistem ilmiah yang diperbaharui (kembali) oleh analisis filsafat bahasa (meta-language).

Cabaran ilmiah tersebut nampak terwakilkan dalam sosok Nasr Hamid, yang ternyata secara mengejutkan mendukung penuh bacaan ala Sibaweih sebab menurutnya pambacaan rekontruksi gramatika, misalnya  yang didalangi  ulama kuno macam Ibnu Madha tidak murni sebagai rekontruksi demi pengatahuan ilmiah pedagogik melainkan syarat dengan bias ideologis, karenanya patut dicurigai bahkan diragukan entitas keilmiahanya.  Diam-diam ia membela habis-habisan teori Sibaweih secara argumentatif dan mencengangkan, tentu dengan amunisi teori-teori linguistik yang sangat ia kuasai, baik dari filosof lingusitik Barat maupun Islam klasik. Menurutnya sangat tidak etis permasalah gramatika –sebagai wilayah non agama-  ditarik-tarik dalam kubangan agama atau teologi. Lebih jauh bahwa upaya yang dilakukan Sibaweih mestinya ditempatkan dalam takaran proporsional ijtihad kemanusiaan; artinya apa yang dianggap oleh Ibnu Madha atas Sibaweih sebagai kesalahan fatalis tak termaafkan [dalam presfektif teologi] atau hanya sekedar entry point  bagi interpretasi-interpretasi yang detil, pelik, dan kadang memuakkan, oleh Nasr Hamid hal tersebut dianggap tidak realistis dan tidak relevan malah justru nampak sikap arogansinya. Ia lebih setuju bahwa konsepsi Amil, Qiyâs, Illat, Ta’wil diartikulasikan sebagai sebuah konsepsi analitik kebahasaan bercorak interpretatif dan ijtihad sahaja. Semestinya pembaharuan gramatika yang biasa menggunakan jargon ‘mempermudah bacaan lawas’ harus berangkat dari stigma pemahaman terhadap watak dasar dan karakteristik ilmu ini dengan mencermati konsepsi-konsepsi di dalamnya secara mendalam. Menurutnya menolak perangkat epistemologis bangunan utama gramatik sama saja bunuh diri; bisa membahayakan bahkan menyerang balik pada para penolak sendiri serupa menutup mata dari matahari yang sinar panasnya menyengat kulit.

Nah, untuk mengikis dan mementahkan akar hegemoni beserta asupan kekuatan baru gramatika Sibaweih yang telah menjadi suara dominasi mainstream itu, tentu  paling tidak memerlukan teori atau epistema yang benar-benar diakui publik ilmiah kontemporer sebagai suatu kognitas yang dipandang maha ilmiah sehingga berani  beradu secara jantan melawan ‘aksiomatik-aksiomatik’ grammar klasik.              

***
Bahasa Problematis
Dalam pada itu apa yang dibidik para pemikir tidak hanya mengenai pembaharuan gramatika bahasa yang dianggap sebagai sebuah hasrat pembacaan menbebaskan. Yang  memprihatinkan problema bahasa Arab dewasa ini adalah proses pelapukan bahasa fushah sendiri dengan munculnya bahasa amiyah sehingga banyak para pelajar justru tidak mengenal atas bahasa Ibu-nya; bahasa agama-nya; bahasa al-Qur’an-nya; bahasa penghuni surgawi. Fenomena yang ada bahwa bahasa fushah tersisihkan oleh bahasa amiyah merupakan sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Wajar hal tersebut menjadi salah satu bidikan utama Muhammad Abduh ketika mengkampanyaken pembaharuan Islam. Proyek besarnya dalam pembaharuan pendidikan (tarbiyah) adalah upaya dini menghidupkan kembali bahasa Arab fushah yang sedang mengalami kemacetan akut. Gagasannya pertama, menghidupkan khazanah turats. Ia pun memulai program mencetak kitab-kitab agama secara besar-besaran atau mencetak manuskrip-manuskrip yang sempat ia temukan dalam lawatan ke negara-negara. Kedua, membangun sekolah akademis Jam’iyah Ihyâ’ al-Ulûm al-Arabiyah tahun 1900 M. Pembangunan infrastruktur ini tak lain untuk menghidupkan serta memasyarakat bahasa Arab sebagai satunya tiang agama dan gudang pengetahuan.

Disamping itu bahasa Arab sedang mengalami kemiskinan pembendaharaan kosakata (vocabulary)  ketika dibenturkan dalam konteks modern. Gejalanya hampir banyak bahasa serapan asing daripada bahasa Arab sendiri ketika bersentuhan dengan sesuatu yang telah mengalami modernisasi. Namun demikian kemiskinan kosakata adalah sesuatu yang normatif dan lumrah dalam sebuah kebudayaan suatu  bangsa sebab kendali bahasa terletak pada siapa yang menguasai dunia dalam sains, pengetahuan  dan teknologi maka bahasa menjadi Bahasa Dunia. Dalam hal ini tentu sebuah budaya akan ikut hegemoni budaya dominasi mayoritas, yang kebetulan saat dikuasai Dunia Barat (baca: bahasa Inggris). Maka tak pelak semua budaya minoritas pun membebek padanya tak terkecuali bahasa Arab sendiri. Hal tidak perlu dijadikan bahan cibiran sebab  persis atas apa yang pernah terjadi pada sejarah Islam abad pertengahan di mana Islam menjadi kawah candramuka dunia. Barat pun kala itu, yang masih dalam dark age, banyak menyerap istilah-istilah dari Islam seperti al-jabar atau kimia. Dengan demikian sebuah serap-menyerap (simbiosis mutualisme) bahasa dalam sebuah budaya adalah sesuatu yang natural dan hasil ‘putusan alam’.                      


Epilog
Bahasa Penutup
Sebuah pembacaan, apapun bentuknya, akan mampu dipertanggungjawabka secara ilmiah selama bacaan itu tersebut dibangun melalui penopangan epistema yang kokoh. Di sini kebetulan varian bacaan tradisional maupun post-tradisional, menurut hemat saya, telah sukses memenuhi kriterium tersebut. Tentunya bagi saya  mengestimasikan sebuah bacaan ‘gramatika komplementer’ dan manasuka (arbitrari) adalah sebuah ‘cita-cita idealita’. Artinya dibebaskan untuk mengikuti varian bacaan ala klasikal atau kontemporer sesuai nurani keakuan dan, terpenting, sejauh mana implikasinya dan relevasinya atas pilihan bacaan tersebut dengan kepentingan umat dewasa ini. Jadi, untuk tetap ngotot dengan bacaan klasik, sudah tidak kondusif lagi ditengah gencarnya pembaharuan-pembaharuan agama yang menggurita dewasa ini. Demikian pula sebaliknya; untuk mengekang varian bacaan baru bahkan mematikannya sama saja mematikan pembaharuan agama sendiri dan berakibat fatal atas konsekuensi kelangsungan agama.

Sejarah rekontruksi, dalam pengertian linguistik, adalah sebuah undang-undang alam Islam yang telah mendapatkan legitimasi dalam percaturan sejarah peradaban Islam. Logikanya kenapa tidak mengikuti saja tradisi pencerahan gramari-an orang dahulu di mana mereka pernah terpancari oleh kebudayaan filsafat dalam gramatikalnya; sebagamana kita para anak zaman kini dipancari oleh silaunya kehebatan pengetahuan logosentris. Yang dari padanya menghasilkan sebuah tujuan pembacaan yang membebaskan sesuai nalar pikiran-bahasa. Ini  tak lain demi menuju penyelamatan dan pembebasan bahasa agar tetap hidup (al-lugah al-hay) sebagaimana tabiat bahasa sendiri yang selalu mendamba hidup di habitatnya. Maka, tiada nalar tanpa bahasa; tiada bahasa tanpa nalar...



(Allah Yang Maha Tahu Segalanya)


Orientalisme; Romantika Islamologi yang (di)diam(kan)



Orientalisme adalah sebuah ‘diskursus resmi’ yang hingga saat ini tetap menyisakan daya tarik. Sekalipun sebagian lain masih mengawamkannya. Namun di kalangan muslim kontemporer begitu diminati   Ia laksana daya tarik yang tak lekang dimakan zaman tak habis disapu waktu. Lepas dari pertanyaan abadi; apakah ia dalam konteks Islam ditampilkan serupa wajah monster seram menakutkan atau justru kesebalikannya; berwajah ramah tampan serupa dewa penolong. Tentu bergantung relativitas kebenaran ilmiyah objek kajian dan self-image di kalangan muslim. Secara integral orientalisme adalah lapangan kajian intelektual di mana Barat memposisikan diri sebagai subjek laki-laki yang kuat, cerdas, aktif, sementara Timur sebagai objek perempuan yang lemah, lugu, dan pasif tanpa mampu melawan balik.
Orientalisme menemukan momentum kejayaannya saat ekspansi kolonisasi Barat atas Timur pada awal abad ke-19 hingga akhir Perang Dunia II. Bahkan dianggap sebagai kepanjangan tangan kolonialisme baik pada masa kolonial maupun pasca-kolonial. Muhammad Arkoun dalam karya besarnya; Arab Thougt, menyebutkan bahwa visi-misi orientalis sejatinya diproyeksikan guna memuluskan penetrasi kolonialisme dan misionaris agama Kristen terhadap negara-negara muslim. Secara radikal Arkoun mengidentifikasikan orientalisme tak lebih sebagai monster agresi intelektual ketimuran yang mengabdikan diri bagi raksasa imperial Barat.
Studi orientalis memang tidak bisa dilepaskan dari jejaring kolonialisme yang bererat-kelindan. Namun hal ini tidak menafikan bahwa sejarah orientalis sendiri sudah ada kontak dengan dunia Islam-Timur sejak Perang Salib, dengan memulai proyek penerjemahan an sich, belum pada metodologi filologis yang dikenalkan dan direkomedasikan Ernest Renan, sebagai bapak orientalis modern terkemudian.
Dalam ruang lingkup karakter yang limit ini, bagi saya, nampak bodoh jika berupaya mendedahkan sejarah orientalisme -lepas dari terma kolonialisme- yang sifatnya naratif dan ensiklopedik. Yang perlu diberi outline besar, bahwa dalam lanskap sejarah yang membentang luas, ia lahir sebagai paradoks-paradoks zaman yang tidak selalu patuh pada kebijakan kolektif, namun kerap kali membangkang dan mengikuti nurani kepentingan ilmiyah secara penuh kesadaran akademik. Dan itulah yang kurang diapresiasi bahkan cenderung ‘didiamkan’ oleh kalangan mayoritas muslim.
Imbuhan ‘isme’ dalam frase orientalisme merupakan peran penanda bahwa ia menjadi disiplin ilmu akademis modern yang diajarkan di univesitas-universitas tersohor dunia. Tersebab meluasnya ruang lingkup obyek kajian orientalisme, yang tidak lagi berkutat pada kajian selektivitas semata. Ia kemudian, dengan naluri alamiahnya, bermetamorfosis menjadi identitas akumulatif khazanah keilmuan tradisional mencakup berbagai disiplin ilmu filologi, antropologi, etnografi, filsafat berikut ilmu klasik lainnya.
Siapa pun yang antipati atas watak antagonis orientalisme akan merasa tersanjung jika membaca Orientalism karya monumental Edward W. Said. Lewat buku ini kita akan melihat pembacaan studi kasus orientalisme secara cermat dan apik hingga ke akar-akarnya. Dalam pandangannya, terma orientalisme sepanjang sejarahnya-khususnya dalam hierarki legal-formal instuisional-hampir tidak pernah menampakkan niatan baik. Kalau pun ada merupakan sempalan-sempalan bahkan  bisa dikatakan pengecualian dari padanya. Ia mengorganisasikan diri secara sistematik sebagai pemulung fragmen ketimuran yang terpotong-potong kemudian dibentuk kembali sesuai selera dan citra orientalis. Pandangannya atas orientalisme bisa dikatakan inovatif-kognitif sebab, dengan metode analitik M. Foucault, mampu menyihir orientalisme ibarat seorang pesakitan yang lemah tak berdaya. Wajar jika buku itu mengundang kontroversial. Bahkan buah karya Said menjadi rujukan utama dalam studi orientalisme di dunia Islam, yang belum ada tandingannya hingga saat ini.
Tegaslah, pengetahuan Timur yang diciptakan oleh orientalis hanya bersifat imajinatif-politis ketimbang artikulasi pengetahuan murni itu sendiri. Sekalipun diakui telah mampu membangkitkan epos-epos yang mati suri, namun kenyataannya lebih bersifat destruktif dan manipulatif.  Tentu hal ini sangat mencengangkan sebab pada akhirnya menghasilkan sebuah konklusi naif; sesegala kemajuan yang diciptakan orientalisme secara obyektif ternyata jauh dari asas praduga kebenaran ilmiyah.
Syahdan, tradisi orientalisme dengan kehebatan metodologinya tercemari oleh ulah anomali intelektual para orientalis sendiri atau pun sebagai bagian rezim imperialisme. Penghargaan tinggi Ignas Goldziher akan toleransi Islam atas agama samawi dirusak oleh sentimen pribadi terhadap antropomorfisme Muhammad serta teologi dan jurisprudensi Islam yang terlalu ‘eksterior’. Reputasi besar Theodor Noldeke dikotori oleh persepsinya, bahwa segenap karyanya adalah demi mendiskriditkan bangsa Timur akibat ia seorang phil-hellenist (baca: Yunani rasis). Kajian inten C. Snouck Hurgronje atas mistisisme Islam yang merupakan bagian eksentrik dari esensi Islam membuatnya lupa diri dijadikan sebagai alat propaganda demi melumpuhkan kekuatan Islam dari dalam. Ia jadinya tak lebih sebagai representasi kuasa kolonial yang eksploitatif dan bertangan besi ketika terjadi kolonialisasi di bumi pertiwi.
Namun penting ditanamkan, kita sebagai seorang pelajar bijak yang tahu diri,   tidak lantas menggeneralisir teori-teori konspirasi demikian. Bagaimana pun, berkat orientalislah kita bisa mengenal kembali peradaban Islam yang maha kaya. Umat Islam, dalam hal ini, terkesan malu-malu dan menutup-nutupi khazanah klasiknya sendiri. Terlalu selektif dalam memilah disiplin ilmu yang melulu berkonsentrasi atas ‘hitam-putih’ ilmu keagamaan, sementara melupakan kemajuan dan kedigjayaan bidang pengetahuan masa silam yang penuh ‘warna-warni’.
Berkat orientalislah Islam mengenal tokoh-tokoh penemu pengetahuan kaliber dunia. Sebut saja Jabir bin Hayyan, sang kimiawan atau Ibnu khaldun, sang filosof sejarah, serta banyak tokoh lainnya. Dan lagi-lagi, berkat orientalislah peradaban Islam mampu menempati hierarki martabat sejarah dunia hingga ditakuti dan disegani, yang konon menjadi pemicu kolonialisasi Barat atas Timur.
Bahkan, dengan segenap penghormatan tinggi, jika bukan karena andil  orientalis, hampir-hampir saja khazanah Islam klasik hilang tenggelam dari peradaban, hingga akhirnya dengan susah payah mampu dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Wacana inilah yang kemudian menjadi inspirasi pan islamisme sebagai akibat ledakan intelektual modernitas di dunia Arab dan selanjutnya merebak ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Dengan demikian, karier orientalisme tidak berhenti pada gerak rekontruksi dan repetisi sejarah ketimuran. Justru membawa Islam menuju gerbang pencerahan dan kemajuan hingga menjadikan ‘lebih baik’ dan, dengan tidak disangka-sangka, mampu mensejajarkan diri dengan Barat sebagai pengaruh timbal balik ‘regenarasi Islam’ oleh peran orientalis. Pasalnya, orientalisme mengangkat Islam sebagai objek kajian berbagai disiplin keilmuan yang kemudian diboyong ke laboratorium Barat.
Nah, reproduksi pengetahuan ini, sekalipun pada awalnya sebagai self-image atas diri Barat, pada gilirannya akan kembali jua pada citra keilmuan atas diri Islam sebagai pemilik hak paten khazanah keilmuan tersebut. Strategi ganda ini, atau double vision jika meminjam istilah Homi Bhabha, mengukuhkan diri relasi antara Barat dan Timur sebagai citra ideal serupa simbiosis mutualisme.
Alhasil, kita sebagai anak zaman yang peduli akan pelestarian peradaban Islam, sudah semestinya tidak memiliki sikap apatis atas karya orientalis. Pun tidak menilai silau atas karya mereka. Tugas kita adalah mengambil kembali kekayaan kita yang terenggut dari tangan mereka. Tentu dengan metodologi ketat standar ilmiyah; mengkaji dengan sikap kritis dan penerapan teori verifikasi-falsifikasi demi menyarikan kembali pada orisinalitasnya. Demikian.

Seperti Apa Anda Mengukir Sejarah?



Ditulis oleh: Anne Ahira
"The difference between a successful
person and others is in a lack of will"
     ~ Vince Lombardi, Football Coach

Nashifuddinluthfi, kebanyakan manusia cukup puas
hanya dengan...  

Lahir - Hidup - dan lalu meninggal.

Hingga akhirnya yang tertinggal hanya 
tiga baris di batu nisannya : 

Si X, lahir tanggal sekian, dan meninggal 
tanggal sekian!

Inginkah Nashifuddinluthfi menjalani hidup apa
adanya seperti itu?

Seperti apa Nashifuddinluthfi mengukir sejarah?

Ada 3 hal yang bisa membedakan Nashifuddinluthfi
dengan kebanyakan orang dalam mengukir
sejarah, yaitu... 

Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan.

1. Kemauan

Kemauan menjadi kata kunci yang paling
penting dalam menentukan sejarah hidup
Nashifuddinluthfi.

Nashifuddinluthfi mau menjadi apa? Seperti apa? dan
di mana? Tentunya hanya Nashifuddinluthfi yang
paling mengetahuinya!

Cobalah catat semuanya. Baik itu
melalui memori, diary, atau melalui
selembar kertas sekali pun! Nashifuddinluthfi pasti
punya kemauan!

Jangan pernah katakan Nashifuddinluthfi tidak punya
kemauan. Hidup itu terlalu pendek untuk
disia-siakan.

2. Keilmuan

Percaya, segala sesuatu itu pasti ada
ilmunya! Jika Nashifuddinluthfi punya kemauan dan
memiliki ilmunya, maka segala usaha
akan tercapai dengan lebih baik.

Itu sebabnya Nashifuddinluthfi harus mau belajar
dan belajar. Nashifuddinluthfi bisa belajar dimana
saja, kapan saja, dan dengan siapa
saja.

Ingat, tidak pernah ada kata terlambat
untuk belajar, mengenal, memahami, dan
mengamalkan sesuatu hal yang bermanfaat
bagi kehidupan Nashifuddinluthfi, begitu juga bagi 
orang lain.

Dan satu lagi....

3. Kesempatan

Jika kemauan ada, keilmuan ada, maka
tinggal kesempatanlah yang memutuskan
apakah Nashifuddinluthfi bisa mengukir sejarah
dengan baik atau tidak.

Kesempatan ini bisa datang dari mana
saja, tergantung kecekatan Nashifuddinluthfi dalam
memanfaatkan setiap peluang yang ada.

Kita tahu, seringkali kesempatan itu
hadir, tapi kita tidak mampu
memanfaatkannya dengan benar, karena
keilmuannya kurang, meski keinginan
kita itu sebenarnya sudah besar.

Jika ini terjadi, tidak jarang orang
menyesal dan kadang menjadi berfikir
bahwa nasib selalu tidak berpihak
padanya.

Sebenarnya tidak demikian Nashifuddinluthfi! Dia
hanya tidak tahu bagaimana cara
menyatukan 3K! Yaitu... 

Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan!

Nah, sekarang Nashifuddinluthfi tahu, apa yang
harus dilakukan untuk bisa mengukir
sejarah dengan baik dalam hidup Nashifuddinluthfi!

Padukan antara kemauan, keilmuan dan
kesempatan. Jika kemauan sudah ada,
keilmuan sudah ada, maka kesempatan itu
sebenarnya bisa dicari dan diupayakan!

Dan percaya... ketika ketiga unsur ini
berpadu dalam hidup Nashifuddinluthfi, maka sejarah
kebesaran tentang Nashifuddinluthfi telah dimulai. :-)

Selamat mencoba!

Israilliat


Nabi Muhammad; pada dasarnya adalah penyambung lidah Tuhan [artikan : Rosul] yang bertugas menyampaikan pesan Tuhan [baca : Allah] untuk umat manusia di dunia agar bisa menempuh jalan yang lurus dan benar. semua yang dinyatakan olehnya bukanlah bersifat opini ataupun nukilan dari buku. semua semata-mata wahyu dari Tuhan kepadanya, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur'an ان هو الا وحي يوحي, وما ينطق عن الهوى yang artinya "apa yang diucapkan olehnya (Muhammad) bukanlah dari hawa nafsu, melainkan wahyu ". Dia pun menjadi penafsir utama dalam hal menjelaskan maksud dari al-Qur'an; tiada orang lain yang sanggup melebihi kebenaran tafsirannya. kebenaran mutlak yang bersifat tunggal yang diwakili olehnya; dimasanya.

Setelah wafatnya Beliau, pengartian teks al-Qur'an beralih ke para sahabat-sahabatnya dengan pegangan al-Qur'an itu sendiri dan sabda Beliau. Pegangan itu tidak pernah mereka (sahabat) lepaskan meski ada rujukan yang komplit dan original. kenapa begitu ? Karena sabda Nabi lebih utama dan terjamin kebenaranya. tapi penggeseran ini mulai terasa, ketika memasuki masa Tabiin dengan penggunaan Israiiliat sebagai penerjemah al-Qur'an yang bersifat global.

Arti Israilliyat
Israiliyat adalah istilah yang dibawa oleh Ulama Tafsir dan hadist dalam membahas kisah yang dibawa oleh Yahudi dan Nasrani. kemudian berkembang menjadi nama untuk kisah yang bersumber dari keduanya. Israiliyat sendiri adalah salah satu macam dari beberapa macam [macam-macam pengaruh luar] yang mempengaruhi ke-orisinalitas sebuah teks tafsir dari al-Qur'an. hal ini sangat mempengaruhi aktifitas penafsiran karena banyak mengundang kontervensi akidah, kebudayaan, keanehan dan khayalan-khayalan yang tidak sesuai syariat atau kata lain khurafat. sehingga mengacam rusaknya budaya Islam.

Israiliat(أسرائيليات) berasal dari mufrad (أسرائيلة) Israiliyah yang diambil dari nama putra nabi Ya'qub A.S. kemudian menjadi nama untuk sebuah suku dan golongan pemeluk agama. Hingga terkenal menjadi Bani Isrel yang sekarang berubah menjadi Yahudi.--- Sebetulnya nama Yahudi sendiri ada sejak kemunculan Islam [pada masa nabi Muhammad]. mereka dinamakan Yahudi karena sebagian dari mereka mengingkari kenabian nabi Isa A.S. lalu sebagian golongan lagi mengimani kenabian nabi Isa A.S. dan untuk sebagian mereka yang mengimani semuanya, mulai nabi Musa A.S. Isa A.S. dan Muhammad S.A.W. disebut dengan ahlu al-Kitab. Antara dua golongan ini ( yahudi dan Nasrani) mempunyai perbedaan-perbedaan tersendiri mengenai akidah mereka; yang Yahudi merujuk pada Taurat dan Nasrani merujuk kepada Injil. kemudian dua-duanya diubah oleh para ulama mereka dari bentuk aslinya dengan menisbatkannya pada kalam Tuhan sehingga kitab mereka tidak lagi Asli firman Allah. Di dalam al-Qur'an dijelaskan bagaimana mereka mendapat ajaran dari kitab sucinya ( al-Maedah: 44-45. penjelasan tentang orang-orang nasrani diberi kitab injil sebagai pegangan mereka). pada dasarnya, mereka juga disebut muslim. karena mereka adalah orang-orang merawisi agama samawi yang dibawa oleh leluhur mereka; yaitu nabi Ibarahim A.S.. Lafadz muslim banyak disebut dalam al-Qur'an saat menerangkan perihal tentang mereka yang mempercayai Allah, malaikat, rasul, kitab, dan hari akhir; serta tidak menyangkal akan kenabian nabi Muhammad S.A.W. Israiliat menjadi rujukan dalam penafsiran al-Qur'an muncul sejak masa nabi Muhammad, kemudian lanjut sahabat, tabiin hingga sekarang. hanya saja, ketika masa Nabi, Israiliat tidak bisa diambil apa adanya, hingga Nabi bersaba لا تصدقوا أهل اكتاب ولا تكذبوهم وقولوا أمنّا بالله ,ما انزل اليه--الاية2. lalu para Sahabat mengikuti apa yang disampaikan Nabi tentang Israiliat karena tidak ingin membuat perselihan dengan apa yang telah digariskan oleh Nabi tentang syariat Islam. Masuk pada masa Tabiin, keadaan mulai berubah. sebagian ada yang menggunakan israilyat demi kepetingan mereka sendiri dan mengikuti hawa nafsu; ada juga yang tetap berpegang teguh pada jalur yang digariskan oleh Nabi seperti golongan Mu'taziliah, Batiniah, Qoyadiah, Bahaiyah. karena takut akan banyak terjadinya penyelewengan penafsiran pada masa Tabiin. Muncullah inisiatif dari para Ulama yang tetap menjaga sunnah-sunnah Nabi untuk memberikan syarat penafsiran, yaitu harus sesuai sabda Nabi, pendapat-pendapat sahabat, dan riwayat yang orangnya terkenal adil, terpercaya dan teliti. jika hal itu tidak dipenuhi, maka penafsiran yang dilakukan tidak diterima. Karena hanya akan bersifat merusak. Kejadian ini bisa muncul karena Nabi pernah bersabda bahwa sebaik-baiknya golongan adalah setelahku, kemudian setelahku. Hal ini bisa dilhat sifat kehati-hatian yang dilakukan oleh sahabat dan tabiin sangat berbeda sekali. Hingga ada kesepakan Ulama bahwa pendapat sahabat bisa menjadimarfu ke nabi Muhammad dan Tabiin tidak bisa.

Dari penjelasan-penjelasan ini dan adanya sabda Nabi tentang tidak membenarkan dan tidak membuat kebohongan terhadap cerita mereka adalah sikap yang harus kita aplikasikan dalam menerima segala informasi dari mereka, serta melakukan penilitian terhadap cerita-cerita mereka seperti dilakukan oleh para sahabat. Seperti Abu Bakar, umar bin Khottob, Ibnu abbas. Dalam artian tidak memperyai langsung, perlu peng-klarifikasikan lebih mendalam agar tidak bertengtangan dengan syariat Islam.  Tapi Israiliat menjadi digunakan karena israiliat mempunyai hubungan dengan Islam dalam akidah dan keagamaan.

siapa dirimu?

Kenali dirimu untuk mencapai tujuanmu agar langkah yang kamu semakin mantap dan bermakna. Banyak hidup yang menyerupai dengan kita, yaitu nafsu. nafsu selalu mebuat kita menjadi lupa siapa sebenarnya diri kita dan untuk apa kita melakukan hal yang bersifat berat.
Menjalani hidup seperti berjalan menusuri terjal-terjal pegunungan. Terkadang jalan yang kita lalu mulus; terkadang juga yang kita lalu curam dan berbahaya. baiknya, sebelum kita melakukan perjalanan itu, siapkan alat dan perlengkapan agar diperjalanan kita senantiasa merasa tenang sekalipun kita kehilangan semuanya, kita  sudah berusah sebaik-baiknya usaha. Jadi penyesalan yang ada akan merubah diri kita untuk selalu merasa lebih optimis.