Perubahan

Manusia memiliki tiga perangkat untuk bisa memiliki keindahan dalam berpikir, yaitu teladan, logis, dan kreatif. karena berpikir adalah tanda yang penting untuk manusia, untuk membedakannya dari macam-macam makhluk yang ada di bumi, maka merubah segelintir kemalasan menjadi senjata adalah penting, karena sesuatu yang penting di akan menjadi menjadi sangat penting karena didukung perangkat yang penting pula. pentingkan pula otakmu untuk berpikir. perubahan akan terjadi.

Kamis, 22 September 2011

Kala Spiritualisme Dilembagakan Mukti Ali (Penulis adalah Santri eMbeling al-Azhar Kairo)  


Karakteristik spiritualisme yang paling orisinalnya bersifat liar, tak teratur rapih, berserakan, dan warna-warni. Tapi dengan karakternya itu ia menjadi mempesona dan menawan. Laksana taman bunga yang beragam warna dan beragam aroma. Justru kala taman bunga “diseragamkan” menjadi satu warna, satu aroma, dan satu bentuk, maka keanggunannya menjadi pudar, atau bahkan menjadi tidak menarik bagi mereka yang sedang bertamasya
      Penyeragaman spiritual menjadi satu warna galibnya bersumber dari sebuah doktrin produk manusia (mursyid, sebagai misal), yang diejawantahkan dalam bentuk pelembagaan spiritualisme: doktrin seperti belenggu yang membatasi sang pejalan spiritual. Akhirnya memunculkan satu asumsi (tuduhan?) bahwa seseorang yang berserah diri secara tulus tak bisa dianggap sufi dengan tanpa mengikatkan dirinya dengan satu doktrin sejenis itu. Najis bagi orang biasa yang tidak masuk lembaga doktrin itu untuk dianggap “sufi”. Tanpa sadar, bahwa asumsi sejenis ini mengandaikan doktrin sang guru (atau mungkin gurunya itu sendiri?) diimani bukan sekedar sebagai “perantara”, tapi juga sekaligus sebagai “tujuan”. Namun sejatinya sang pejalan mestinya bisa lari sekencang-kencangny a, melintasi batasan-batasan yang dirasa mengikat, mengejar dan mendekati satu titik tujuan yang paling paripurna yaitu Kekasih Abadinya. Satu prinsip dasar yang mestinya disematkan kuat-kuat dalam nurani adalah apa pun bentuknya doktrin itu dan sedigjaya apa pun kepribadian sang mursyid hanyalah sebagain kecil dari sekian banyak “perantara” menuju apa yang layak dianggap sebagai tujuan.
      “Pelantara” di sini tidak dalam pengertian Kristiani pada era kegelapan (dark age) di Barat, melainkan dalam pengetiannya yang positif: sebagai penunjuk jalan spiritual dalam tahap permulaan, lalu untuk seterusnya melepaskankannya secara total. Laksana busur panah yang dilepaskan secara mandiri menuju obyek sasaran. “Man la syaikha lahu, fasyaikhuhu syaithan”, demikian jargon konvensional muncul ke permukaan. Menurut saya jargon ini mendapatkan relevansinya bagi para pendahulu (mubtadiien) dalam dunia spiritual, tak berlaku selama-lamanya dan tak dialamatkan untuk semua orang. Lantaran sejatinya spiritualisme adalah sesuatu yang sangat privatif, dan tak ada seorang pun yang berhak menginterfensi terlalu jauh—apalagi “mendiktenya”.
      Bahkan, mestinya sang pejalan spiritual sejati akan menganggap doktrin dan mursyid itu sendiri (atau fanatisme sekte) adalah “penghalang” antara ia dan Tuhan. Al-Hallaj lebih jauh menyimpulkan bukan hanya guru, dll, tapi jasad dirinya dianggap sebagai penghalang pertemuan ia dan Sang Kekasih Abadinya. Kala fonis mati dijatuhkan, ia menyambutnya dengan tersenyum. Hanya kematian yang bisa melenyapkan penghalang (baca. jasad) antara ia dan Kekasihnya. Dan Rabiah al-Adawiyyah, seorang sufi perempuan, hatinya telah dipenuhi rasa kasmaran terhadap Tuhannya, sehingga tidak bisa menerima masukan rasa cinta pihak lain. Seraya ia berujar saat bersimpu di samping makam Nabi Muhammad: “Wahai Muhammad, maafkan daku yang telah lumer oleh kobaran api cinta Tuhan dan melalaikanmu. Hatiku telah penuh oleh cinta-Nya. Tidak ada tempat lagi di ruang hatiku untukmu”. Rabiah menyadari betul bahwa Nabi Muhammad bukan tujuan ahirnya—apalagi hanya seorang guru biasa seperti Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals—melainkan tujuan perjalanannya adalah Tuhan.      
      Spiritualisme pun bak gelombang lautan: pasang dan surut dalam keasyik-masukan rasa kasmaran dengan kekasih abadi (Tuhan). Dalam takaran yang tidak menentu ini, seberapa tinggi gelombang pasang dan seberapa rendah gelombang itu surut tak seorang pun yang bisa menakarnya. Hanya Tuhan yang bisa menakarnya dengan jelas. Lantaran Tuhan adalah tujuan itu sendiri. Teka-teki maqam dan ahwal baru bisa dipecahkan oleh sorot tajam mata Tuhan yang penuh seluruh dan maha angeliputi. Di mata manusia, derajat spiritual seseorang akan selamanya misteri. Alih-alih, siapa nyana kalau-kalau sang murid justru lebih tinggi tingkat spiritalitasnya di mata Tuhan daripada guru-gurunya.
      Kita tahu dalam sejarah spiritualisme Islam klasik, sejumlah ulama pejalan spiritualis telah melampaui guru-gurunya. Sebagai misal, Rabiah beberapa langkah lebih maju daripada gurunya, Hasan Bashri; Al-Hallaj telah melampaui gurunya, Juned al-Baghdadi; Ibnu Arabi justru menganggap yang menjadi inspirator kidung cinta Illahi yang terukir indah diujarkan dalam bait-bait syair Tarjumanul al-Asywaq (ayat-ayat cinta) adalah Nidzlam, seorang putri gurunya, yang dianggapnya sosok yang memiliki keelokan luar-dalam, dan inspirator itu bukanlah gurunya, yaitu Zahir bin Rustum bin Aby al-Raja al-Asbihani yang telah membacakan buku hadits karya al-Tirmidzi pada saat di Mekah, 598 H—spiritualisme itu memang liar, bisa dipungut dari mana saja tidak harus dari guru. Dan akhirnya Ibnu Arabi telah menjadi salah satu “raksasa spiritualisme Islam” yang bisa melampaui para pendahulunya.
      Mereka, para sufi dan gurunya yang saya sebutkan itu, menyadari bahwa relasi guru dan murid adalah sejenis relasi sparring-partner, yang sama-sama memiliki kesempatan, sama-sama mempunyai kepintaran-spiritua l dan adanya “persaingan sehat-alami” dalam mendaki dari satu tangga spiritual ke tangga yang lain.
      Sayang, sebagian oknum menganggap bahwa “murid di tangan gurunya laksana orang mati di tangan orang yang memandikannya” . Murid diandaikan selamanya tak berdaya, tak berkemampuan, dan selamanya bodoh-spiritual daripada gurunya yang selamanya pintar-spiritual. Barangkali, sudut pandang seperti itu berawal dari sebuah asumsi bahwa sang guru diposisikan sebagai kitab al-nathiq (sejenis Buku Pintar atau Kamus Berjalan) yang berhak menyibak kandungan makna dari kitab al-ashamit, yaitu al-Quran dan al-Hadits, dengan melalui wangsit langsung dari Langit dan mentransformasikan kepada para muridnya. Dan pihak lain tak berhak sedikit pun menjadi Buku Pintar untuk dirinya sendiri atau untuk ditransformasikan ke orang lain. Syahdan, pandangan ini serupa dengan pandang sekte Syi’ah. Perbedaannya adalah, jika mereka (para murid Tarikat) mengasumsikan kitab al-natiq adalah sang gurunya, sementara kalangan sekte Syi’ah berasumsi bahwa kitab al-natiq itu adalah Ali dan para Imam. Namun, kedua pandangan ini bermuara pada satu titik persamaan yaitu ujaran sang guru (kalam syekh) bagi para murid dan ujaran Ali dan para Imam bagi sekte Syi’ah diimani sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam). Ada monopoli tafsir atas teks primer agama yang sangat krusial. Dan ada kultus individu yang cukup akut.    
      Atau konsep kitab al-natiq itu bisa diartikan bahwa sang guru tak perlu menuliskan doktrin dalam bentuk tulisan, cukup dengan mulut-mulut para muridnya yang akan menyampaikan kepada pihak lain. Pandangan ini tidak produktif bahkan kontra-produktif. Kita tahu bahwa para master sufi klasik telah menuliskan pandangan spritualismenya dalam bentuk tulisan. Mereka kebanyakan menulis dengan bahasa ambigu, seperti syair, yang susah tertangkap basah, dan bahasa simbolik, dimana saat generasi setelahnya menyimak, memahami dan mentafsirinya maka mereka akan bisa  memproduksi makna sebanyak-banyaknya. Kecakapan bahasa spiritual adalah seberapa jauh bahasa itu mengandung multi-makna.  
      Saya teringat statemen kedua futurolog Barat, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang berupa sejumput jargon yaitu Spiritualisme, Yes!; Organized Religion, No! Spiritualisme adalah sebuah kebutuhan bagi manusia sekarang (khususnya Barat). Tapi akan “bermasalah” jika manusia menjatuhkan pilihannya terhadap spiritualisme yang terlembagakan atau terorganisir. Ide dasarnya cukup cerdas dan relativ tepat. Tapi sayang, Neisbitt dan Aburdene terjerembab pada kubangan deisme. Dan akhirnya saya katakan bahwa masalah spiritalisme di kalangan “manusia gila yang paling waras”, selalu saja masih misteri bukan?

0 komentar:

Posting Komentar