Perubahan

Manusia memiliki tiga perangkat untuk bisa memiliki keindahan dalam berpikir, yaitu teladan, logis, dan kreatif. karena berpikir adalah tanda yang penting untuk manusia, untuk membedakannya dari macam-macam makhluk yang ada di bumi, maka merubah segelintir kemalasan menjadi senjata adalah penting, karena sesuatu yang penting di akan menjadi menjadi sangat penting karena didukung perangkat yang penting pula. pentingkan pula otakmu untuk berpikir. perubahan akan terjadi.

Kamis, 22 September 2011

Orientalisme; Romantika Islamologi yang (di)diam(kan)



Orientalisme adalah sebuah ‘diskursus resmi’ yang hingga saat ini tetap menyisakan daya tarik. Sekalipun sebagian lain masih mengawamkannya. Namun di kalangan muslim kontemporer begitu diminati   Ia laksana daya tarik yang tak lekang dimakan zaman tak habis disapu waktu. Lepas dari pertanyaan abadi; apakah ia dalam konteks Islam ditampilkan serupa wajah monster seram menakutkan atau justru kesebalikannya; berwajah ramah tampan serupa dewa penolong. Tentu bergantung relativitas kebenaran ilmiyah objek kajian dan self-image di kalangan muslim. Secara integral orientalisme adalah lapangan kajian intelektual di mana Barat memposisikan diri sebagai subjek laki-laki yang kuat, cerdas, aktif, sementara Timur sebagai objek perempuan yang lemah, lugu, dan pasif tanpa mampu melawan balik.
Orientalisme menemukan momentum kejayaannya saat ekspansi kolonisasi Barat atas Timur pada awal abad ke-19 hingga akhir Perang Dunia II. Bahkan dianggap sebagai kepanjangan tangan kolonialisme baik pada masa kolonial maupun pasca-kolonial. Muhammad Arkoun dalam karya besarnya; Arab Thougt, menyebutkan bahwa visi-misi orientalis sejatinya diproyeksikan guna memuluskan penetrasi kolonialisme dan misionaris agama Kristen terhadap negara-negara muslim. Secara radikal Arkoun mengidentifikasikan orientalisme tak lebih sebagai monster agresi intelektual ketimuran yang mengabdikan diri bagi raksasa imperial Barat.
Studi orientalis memang tidak bisa dilepaskan dari jejaring kolonialisme yang bererat-kelindan. Namun hal ini tidak menafikan bahwa sejarah orientalis sendiri sudah ada kontak dengan dunia Islam-Timur sejak Perang Salib, dengan memulai proyek penerjemahan an sich, belum pada metodologi filologis yang dikenalkan dan direkomedasikan Ernest Renan, sebagai bapak orientalis modern terkemudian.
Dalam ruang lingkup karakter yang limit ini, bagi saya, nampak bodoh jika berupaya mendedahkan sejarah orientalisme -lepas dari terma kolonialisme- yang sifatnya naratif dan ensiklopedik. Yang perlu diberi outline besar, bahwa dalam lanskap sejarah yang membentang luas, ia lahir sebagai paradoks-paradoks zaman yang tidak selalu patuh pada kebijakan kolektif, namun kerap kali membangkang dan mengikuti nurani kepentingan ilmiyah secara penuh kesadaran akademik. Dan itulah yang kurang diapresiasi bahkan cenderung ‘didiamkan’ oleh kalangan mayoritas muslim.
Imbuhan ‘isme’ dalam frase orientalisme merupakan peran penanda bahwa ia menjadi disiplin ilmu akademis modern yang diajarkan di univesitas-universitas tersohor dunia. Tersebab meluasnya ruang lingkup obyek kajian orientalisme, yang tidak lagi berkutat pada kajian selektivitas semata. Ia kemudian, dengan naluri alamiahnya, bermetamorfosis menjadi identitas akumulatif khazanah keilmuan tradisional mencakup berbagai disiplin ilmu filologi, antropologi, etnografi, filsafat berikut ilmu klasik lainnya.
Siapa pun yang antipati atas watak antagonis orientalisme akan merasa tersanjung jika membaca Orientalism karya monumental Edward W. Said. Lewat buku ini kita akan melihat pembacaan studi kasus orientalisme secara cermat dan apik hingga ke akar-akarnya. Dalam pandangannya, terma orientalisme sepanjang sejarahnya-khususnya dalam hierarki legal-formal instuisional-hampir tidak pernah menampakkan niatan baik. Kalau pun ada merupakan sempalan-sempalan bahkan  bisa dikatakan pengecualian dari padanya. Ia mengorganisasikan diri secara sistematik sebagai pemulung fragmen ketimuran yang terpotong-potong kemudian dibentuk kembali sesuai selera dan citra orientalis. Pandangannya atas orientalisme bisa dikatakan inovatif-kognitif sebab, dengan metode analitik M. Foucault, mampu menyihir orientalisme ibarat seorang pesakitan yang lemah tak berdaya. Wajar jika buku itu mengundang kontroversial. Bahkan buah karya Said menjadi rujukan utama dalam studi orientalisme di dunia Islam, yang belum ada tandingannya hingga saat ini.
Tegaslah, pengetahuan Timur yang diciptakan oleh orientalis hanya bersifat imajinatif-politis ketimbang artikulasi pengetahuan murni itu sendiri. Sekalipun diakui telah mampu membangkitkan epos-epos yang mati suri, namun kenyataannya lebih bersifat destruktif dan manipulatif.  Tentu hal ini sangat mencengangkan sebab pada akhirnya menghasilkan sebuah konklusi naif; sesegala kemajuan yang diciptakan orientalisme secara obyektif ternyata jauh dari asas praduga kebenaran ilmiyah.
Syahdan, tradisi orientalisme dengan kehebatan metodologinya tercemari oleh ulah anomali intelektual para orientalis sendiri atau pun sebagai bagian rezim imperialisme. Penghargaan tinggi Ignas Goldziher akan toleransi Islam atas agama samawi dirusak oleh sentimen pribadi terhadap antropomorfisme Muhammad serta teologi dan jurisprudensi Islam yang terlalu ‘eksterior’. Reputasi besar Theodor Noldeke dikotori oleh persepsinya, bahwa segenap karyanya adalah demi mendiskriditkan bangsa Timur akibat ia seorang phil-hellenist (baca: Yunani rasis). Kajian inten C. Snouck Hurgronje atas mistisisme Islam yang merupakan bagian eksentrik dari esensi Islam membuatnya lupa diri dijadikan sebagai alat propaganda demi melumpuhkan kekuatan Islam dari dalam. Ia jadinya tak lebih sebagai representasi kuasa kolonial yang eksploitatif dan bertangan besi ketika terjadi kolonialisasi di bumi pertiwi.
Namun penting ditanamkan, kita sebagai seorang pelajar bijak yang tahu diri,   tidak lantas menggeneralisir teori-teori konspirasi demikian. Bagaimana pun, berkat orientalislah kita bisa mengenal kembali peradaban Islam yang maha kaya. Umat Islam, dalam hal ini, terkesan malu-malu dan menutup-nutupi khazanah klasiknya sendiri. Terlalu selektif dalam memilah disiplin ilmu yang melulu berkonsentrasi atas ‘hitam-putih’ ilmu keagamaan, sementara melupakan kemajuan dan kedigjayaan bidang pengetahuan masa silam yang penuh ‘warna-warni’.
Berkat orientalislah Islam mengenal tokoh-tokoh penemu pengetahuan kaliber dunia. Sebut saja Jabir bin Hayyan, sang kimiawan atau Ibnu khaldun, sang filosof sejarah, serta banyak tokoh lainnya. Dan lagi-lagi, berkat orientalislah peradaban Islam mampu menempati hierarki martabat sejarah dunia hingga ditakuti dan disegani, yang konon menjadi pemicu kolonialisasi Barat atas Timur.
Bahkan, dengan segenap penghormatan tinggi, jika bukan karena andil  orientalis, hampir-hampir saja khazanah Islam klasik hilang tenggelam dari peradaban, hingga akhirnya dengan susah payah mampu dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Wacana inilah yang kemudian menjadi inspirasi pan islamisme sebagai akibat ledakan intelektual modernitas di dunia Arab dan selanjutnya merebak ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Dengan demikian, karier orientalisme tidak berhenti pada gerak rekontruksi dan repetisi sejarah ketimuran. Justru membawa Islam menuju gerbang pencerahan dan kemajuan hingga menjadikan ‘lebih baik’ dan, dengan tidak disangka-sangka, mampu mensejajarkan diri dengan Barat sebagai pengaruh timbal balik ‘regenarasi Islam’ oleh peran orientalis. Pasalnya, orientalisme mengangkat Islam sebagai objek kajian berbagai disiplin keilmuan yang kemudian diboyong ke laboratorium Barat.
Nah, reproduksi pengetahuan ini, sekalipun pada awalnya sebagai self-image atas diri Barat, pada gilirannya akan kembali jua pada citra keilmuan atas diri Islam sebagai pemilik hak paten khazanah keilmuan tersebut. Strategi ganda ini, atau double vision jika meminjam istilah Homi Bhabha, mengukuhkan diri relasi antara Barat dan Timur sebagai citra ideal serupa simbiosis mutualisme.
Alhasil, kita sebagai anak zaman yang peduli akan pelestarian peradaban Islam, sudah semestinya tidak memiliki sikap apatis atas karya orientalis. Pun tidak menilai silau atas karya mereka. Tugas kita adalah mengambil kembali kekayaan kita yang terenggut dari tangan mereka. Tentu dengan metodologi ketat standar ilmiyah; mengkaji dengan sikap kritis dan penerapan teori verifikasi-falsifikasi demi menyarikan kembali pada orisinalitasnya. Demikian.

0 komentar:

Posting Komentar